“Memang kenapa? Apa itu sebuah kesalahan?”
“Entahlah! Mungkin juga.”
“Gila!” saya berdecak. Apa yang salah dengan kemacetan dalam menulis. Toh ide dan impulsivitas otak tidak bisa dipaksakan datang setiap waktu. Apa lagi untuk penulis-penulis amatiran seperti kami. Mesti ada pemakluman. Kalau pun ini sebuah penghukuman. Tak ada yang berhak melakukannya atas nama apapun.
“Mungkin kau tahu siapa lelaki yang menyeretku tadi? Bisa jadi dia pelaku utamanya,” tanyaku kemudian.
“Dia memang pelakunya.”
“Kau kenal?”
“Lebih dari kenal. Saya yang menciptakannya?”
“Menciptakan? Siapa? Samtari???”
Mamar mengangguk. Sudah kuduga seharusnya. Kisah seperti ini sesungguhnya sudah dia alami. Dia pernah bercerita betapa tokoh ciptaannya merasuk menyata. Menggugat dan menghukum ketakberdayaannya mengekspresikan ide dalam tulisan. Saat itu saya sedih mendengarnya, dan saya tak menyangka saya akhirnya masuk dalam ketakberdayaannya juga.
“Kenapa dia menghukumku juga?”
“Mungkin karena kau pun sama mandegnya denganku.”