Ah, ya! Inilah kuncinya. Saya jadi terpancing kembali mengamati wajahnya. Betul, saya baru ingat wajah ini. Terutama hidungnya, seharusnya saya ingat saat pertama kali melihatnya.
“Ramdhani Nur?” spontannya.
“Ya! Mamar?”
“Betul kawan!”
Ajaib. Luar biasa, walau tetap penuh dengan keanehan. Seharusnya saya tak terlalu kesulitan mengenalnya. Tapi mungkin juga ada yang sangat berbeda dari wajah yang biasa kita lihat di layar komputer dengan penampilan asli seperti ini. Baru dua hari lalu sepertinya kami berbincang via chatting saat dia mengeluarkan keresahannya atas kemacetan kreativitas. Hal yang saya juga amini terjadi pada diri saya sendiri. Entah kenapa kami berada di sini, entah apa yang bisa kami pikirkan hal yang mungkin terjadi pada kami selanjutnya.
“Kenapa kita di sini?”
Mamar menghela napas. Ada kepasrahan dan penasaran yang bercampur. “Tidak diberitahu kah?”
“Tidak!”
“Mungkin ini hal yang sudah kau pikirkan…”
“Apa itu?”
“Karena kita sama-sama mandeg dalam menulis…”