“Imoto, miyo!”1 seru anak terkecil Shinosuke tepat di depan pembaringan kamar. Seorang lelaki terbujur lemas di sana. Kumiko buru-buru menghampiri sambil menenteng gelas yang tak jadi disimpan. “Dia bangun, Kak!”
Kumiko membawa badannya ke tepi pembaringan. Matanya membentur tubuh lelaki itu mulai bergerak. “Jinsokuna kōru no otōsan!”2
Dilekatkan tatapannya pada wajah lelaki yang begitu pucat dan lemah. Sedikit sekali reaksi yang dihasilkan lelaki itu, kecuali suaranya yang terengah dan gerakan kepalanya yang terusik pelan. “Hai!”
Matanya mulai terbuka pelan, lalu semakin melebar. Adalah wajah Kumiko yang tersenyum lembut yang pertama kali didapatinya. Lalu lahirlah suara parau dari sela bibirnya. “Di mana saya?”
“Nani? Nippon nodarou ka?”3
“Apa?”
“Oh, sayang sekali! English? Do you speak English?”
“Ya…! Ah, apa yang telah terjadi dengan saya?”
“Tenanglah dulu, tak perlu khawatir. Sepertinya kau salah satu korban tsunami dua hari yang lalu, beruntunglah kau masih selamat.”
“Maaf, Nona! Andakah yang menolong saya?“
“Ya, aku dan ayahku.”