“Masih hidupkah ia?” begitu pertanyaan Kumiko berulang. Pak Tua Shinosuke meyakinkannya dengan meletakkan telapak tangannya pada dada kiri lelaki naas itu, sementara kepalanya mendekat pada wajahnya, mencari tanda-tanda kehidupan di sana. Lama Pak Shinosuko melakukan itu, sampai kemudian pandangannya tertoleh pada wajah Kumiko lalu berbegas setengah berdiri. “Masih hidup! Ayo cepat, kita bawa dia ke rumah!”
***
Rimbunnya dedaunan mangga di halaman rumah yang tertiup angin menimbulkan suara yang cukup berisik. Angin malam bulan Januari seperti masih membawa butiran-butiran halus air hujan. Merontokkan dedaunan yang sudah ujur dan berganti dengan tunas-tunas yang akan tumbuh esok hari. Lampu neon yang terpasang di langit-langit teras rumah semakin redup sinarnya. Bayangan hitam dedaun yang terus bergerak menimbulkan gerakan yang rancak seperti para iblis yang sedang menari-nari.
“Sudah bulat benar keputusanmu?”
“Ya!”
Bayu terobsesi untuk menaklukkan samudra, pilihan ini jelas sangat sulit diterima oleh Tantri. Menerima pekerjaan ini adalah anugerah sekaligus beban dan ujian atas ucapnya beberapa bulan yang lalu pada sebuah pesta pertunangan di rumah keluarga Tantri. Dia sudah tahu dan mengerti resiko yang akan dia hadapi. Memilih pekerjaan ini berarti dia harus meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Menahan kerinduan akan cinta yang telah ditanamnya sejak dua tahun yag lalu. Tapi dia juga ingin menjadi seperti angin yang bebas kemana saja. Menjelajah tiap mil samudera yang membentang luas. Mencari titik pertemuan antara langit, Sang surya dan samudra yang terlihat nyata di depan matanya.
“Aku nggak bisa janji.”
“Aku ngerti.”
“Terimakasih.”
Pilihan untuk saling melepas hati tanpa ikatan seperti angin yang bebas kemana saja berhembus menjadi pilihan yang sulit bagi keduanya. Bayu tidak ingin membebani Tantri untuk menunggunya.
“Kalau memang kita berjodoh, aku pasti kembali.”