Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

(FFK) Air Mata Kumiko

18 Maret 2011   13:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_96926" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi (katamutiaradewi.blogspot.com)"][/caption]

“Masuk semua! Jangan ada yang keluar!” Pak Tua Shinosuke lantang menguapkan suaranya pada barisan anak dan cucunya yang berdiri penuh kesima pada tepi sungai Kentai. Kecuali Kumiko, adik-adik dan kemenakanya bergegas masuk kembali ke dalam halaman rumah. Penasaran betul dia pada apa yang ditemukan ayahnya pada parit yang sempat tersapu tsunami dua hari lalu.

Desa Itchinabe memang termasuk wilayah yang tak terlalu parah dilanda bencana maha dahsyat itu. Hanya mengimbas pada permukaan sungai yang naik memuntahkan air ke parit dan sebagian kebun lobaknya. Keluarga Shinosuke sangat beruntung sekaligus prihatin, karena mereka tahu benar kejadiannya. Berita-berita di televisi berhari-hari ini tak henti menyiarkan petaka yang memilukan ini.

“Kau tak dengar Kumiko?”

Gadis itu tak bergeming. Dia malah menjinjitkan tungkai kakinya mencoba mendapatkan gambaran yang lebih jelas pada apa yang dilihatnya. “Biarkan aku di sini, siapa tahu ayah membutuhkan sesuatu.”

Mengalah juga Pak Tua Shinosuke itu. Kumiko memang selalu ingin tahu tentang segala hal. Itu juga yang membuat mereka sering kali kedapatan bertengkar, terutama soal keinginan Kumiko melanjutkan sekolah di kota, Kyoto atau Kobe. Kumiko tak ingin terus-menerus hidup di desa mengurus ladang. Imajinasi dan pemikirannya terlalu bebas untuk terkungkung pada pucuk-pucuk daun lobak yang membumbung menghalangi pandangan Kumiko pada gedung-gedung tinggi universitas di kota.

“Hati-hati, Ayah! Airnya masih tinggi!” Kumiko mengingatkan. Pak Tua Shinosuke mendengarkan acuh. Kaki-kakinya sudah melewati parit pertama dari halaman rumah. Sepuluh langkah di depannya, tanah di sana sudah lebih gembur, bahkan mudah sekali turun ketika terinjak. Sisa-sisa air kiriman dari sungai masih tergenang sebagian. Diteruskan langkahnya mendekati tepi sungai. Kondisinya hampir serupa, becek dan gembur. Pak Shinosuke tak ragu mendekat pada benda yang ditujunya meski berkali Kumiko berteriak memintanya lebih berhati hati. Di antara campuran lumpur, kayu dan benda-benda lainnya Pak Shinosuke mulai menilik memastikan apa yang ditemukannya.

“Ya Tuhan!” pekiknya lemah.

Dari penglihatan Kumiko, ayahnya itu seperti terkejut dan was-was. Kerena tampak kemudian dia bergesa menjauhkan benda-benda yang menutupi sebagian temuan yang mencurigakannya. Kumiko tambah penasaran. Tak ada yang mengomandoi, Kumiko malah turun ke dalam parit, mencoba menyeberang dan menyusul ayahnya di sana.

Semakin terlihat jelaslah kini apa yang berhasil membuat Pak Shinoke terkejut. Sebuah lengan dengan jemari merentang lemah menyeruak dari lumpur. Seseorang telah terdampar terbawa tsunami, begitu pikiran Pak Shinoke. Makin bernafsu saja dia membersihkan dan manarik sebagian tubuh itu yang menyembul. Kini hampir seluruh badannya sudah terlihat benar berada di atas lumpur. Bisa dipastikan dia seorang lelaki dewasa dengan pakaian yang hampir seluruhnya koyak. Kumiko yang sudah berada di sana setengah menjerit melihat itu. Ayahnya terbawa kaget. “Keras kepala kau?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun