Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki di Usia Tiga Puluh

19 Januari 2011   04:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:25 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umur saya sudah lewat tiga puluh tahun. Sudah pantas memiliki istri dan anak. Sudah pantas juga berfantasi seksual atau menikmati visualisasinya lewat gambar-gambar dari majalah semi porno yang biasa saya beli di pinggir jalan. Tapi anehnya ibu saya yang usianya lebih dari enam puluh tahun itu marah-marah ketika menemukan gambar-gambar itu di meja kamar saya. Saya tidak tahu benar apa reaksi ibu sesungguhnya; marah sebenarnya, kecewa, prihatin, khawatir atau lainnya. Saya tidak cukup bisa menilai sikap ibu dari wajahnya yang tertunduk lesu sambil membungkusi gambar-gambar cabul itu. Hampir sekitar satu dus indomi penuh dibawa ibu semunya entah kemana.

Sejak kejadian itu sikap ibu terhadap saya berubah. Sepertinya saya ini masih dianggapnya remaja usia dua belas tahunan, yang masih rentan terhadap pencarian hal-hal baru, seperti seks misalnya. Tapi usia saya sudah lewat tiga puluh tahun. Ibu mestinya mengerti itu. Dan saya seharusnya bisa melakukan pembelaan terhadap segala yang saya lakukan atas dasar kedewasaan dan tanggung jawab saya. Tapi tidak. Saya hanya bisa terdiam.

* * * * *

“Halo, Om Mus! Ngalamun aja?”

“Eh, Mia kok disini? Sama siapa ke sini?”

“Sendiri! Tadi gurunya rapat jadi Mia kemari.”

Mia itu keponakan saya. Umurnya belum tujuh tahun. Baru empat bulan masuk sekolah. Ibunya adalah kakak saya. Mereka tinggal di kompleks sebelah. Sesekali mereka memang suka singgah kemari. Tapi Mia tidak pernah datang sendiri.

Bahkan untuk sekedar mampir seusai sekolah, meski jarak dari sekolahnya lebih dekat kemari ketimbang rumahnya. Entahlah, mungkin mereka khawatir terjadi apa-apa di jalan.

“Kalo Mama nyariin gimana?”

“Mia udah bilang kok sama Bu guru, kalo Mia mau ke rumah nenek!” katanya centil.

Entahlah, keceriaan Mia seperti mengingatkan saya pada seorang gadis seumurnya. Dia sangat manis. Anak seusia itu memang sedang menunjukan kelucuannya. Terutama bagi saya. Dan pada dasarnya saya memang menyukai anak kecil. Sangat menyukai. Ingat! Umur saya sudah lewat tiga puluh tahun. Sudah pantas memiliki anak. Dan saya pun menganggap Mia seperti anak saya sendiri. Makanya saya biarkan dia beringsut kepangkuan saya dan berayun-ayun diatasnya.

“Om tau cerita anak angsa dan keluarga bebek?”

“Nggak!”

“Mau denger ceritanya? Mamah semalem certain dongeng itu ke Mia.”

Mia memandangi saya dengan lucunya. Saya mulai mencubit pipinya yang kemerahan.

“Mau!”

“Gini ceritanya; ada anak angsa yang hidup bersama keluarga bebek. Dia selalu dikucilkan sama anak-anak bebek lainnya, karena wajahnya yang berbeda. Menurut mereka wajah anak angsa itu jelek. Dan mereka tidak mau bermain dengannya. Anak angsa itu sedih, dia selalu menyindiri di dalam kamar. Setelah berbulan-bulan akhirnya anak angsa itu memberanikan diri keluar dari kamar. Keluarga bebek itu kaget karena sekarang anak angsa itu menjadi cantik. Bulunya putih halus, paruh dan cakarnya kuning lembut, matanya bulat dan indah. Semua suka kepadanya termasuk anak-anak bebek yang tetap berbulu coklat dan kusam. Sekarang anak angsa itu tidak sedih lagi. Dan dia bisa bermain dengan bebas dan gembira.”

Saya menangkap gerak matanya yang berbinar-binar saat bercerita. Sungguh saya seperti melihat seseorang yang lain yang pernah dekat dengan saya dan kemudian menghilang. Mia menjadi sosok lama yang hidup untuk menghidupi kenangan saya.

“Mia mau menjadi seperti anak angsa itu yang menjadi besar dan cantik.”

“Mia tidak harus menjadi besar. Karena sekarang pun Mia sudah cantik.”

Anak itu tertawa. Badannya yang menempel pada saya membuat keakraban kami menjadi hangat. Ya, anak ini semakin lucu saja. Tanpa sadar satu kecupan lembut mendarat di pipinya

“Mia! Mia kok disini?” tanya ibu sepulang dari pasar setengah berteriak.

“Nenek!” Mia melompat dari pangkuan saya dan cepat menggapai neneknya.

“Mia sudah lama di sini? Mia ngapain aja?”

“Mia cuma cerita-cerita sama Om Mus? Ya kan, Om?”

Saya tersenyum. Senyumnya itu yang membawanya segera pulang diantar langsung oleh ibu saya.

Sejak kedatangan Mia, sikap ibu saya semakin berubah. Entah penafasiran apa yang ada pada ibu saat menemukan saya bersama Mia beberapa hari yang lalu itu. Hampir setiap hari saya selalu melihat ibu di rumah. Belanja pun ibu selalu membeli pada pedagang sayur yang lewat kesiangan. Ibu tidak pernah lagi pergi ke pasar. Perlakuan ibu terhadap saya sungguh sangat berlebihan. Saya benar-benar seperti ketika umur saya dua belas tahun. Kali ini saya mestinya marah, tapi sekali lagi saya cuma terdiam.

* * * *

“Ibu kira kamu sudah berubah, Mus!” sapa ibu sendu memecah perhatian saya yang tengah asik memandangi anak-anak perempuan yang sedang bermain tali di halaman depan. “Ibu sudah tua, Mus! Dulu Ibu pikir meski Bapakmu sudah tidak ada, Ibu masih sanggup menjaga kamu sendirian. Tapi kemampuan Ibu terbatas sekarang. Kamu butuh bantuan, Mus!”

Apa maksud ibu.

“Satu hal yang perlu kamu tahu, Ibu masih sayang sama kamu Mus! Apapun keadaan kamu. Karena Ibu tidak mau kehilangan satu anak lagi”

Apa sih ini? ibu semakina aneh saja.

“Ibu cuma minta tolong satu hal, tolonglah dirimu sendiri. Lupakan masa lalu!”

Ibu menatap saya hampir menangis. Saya semakin tidak mengerti.

* * * *

Tangan saya ditarik bapak kuat kuat. Ibu menjerit-jerit. Saya menangis keras. Tapi saya masih bisa menangkap tangisan yang menyayat dari seorang gadis kecil yang digendong ibu ke dalam kamar sambil ibu benahi pakaiannya. Kemudian suara tangisan itu menghilang tertimpa teriakan Bapak yang mulai memukuli saya.”Kamu apakan adik kamu, hah? Kamu apakan adik kamu?”

Itu cerita waktu umur saya dua belas tahun. Tapi sekarang umur saya sudah lewat tiga puluh tahun…

…Dan saya menangis.

Cirebon, cerpen lama
gambar dari www.ardhz.blogspot.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun