Entahlah, keceriaan Mia seperti mengingatkan saya pada seorang gadis seumurnya. Dia sangat manis. Anak seusia itu memang sedang menunjukan kelucuannya. Terutama bagi saya. Dan pada dasarnya saya memang menyukai anak kecil. Sangat menyukai. Ingat! Umur saya sudah lewat tiga puluh tahun. Sudah pantas memiliki anak. Dan saya pun menganggap Mia seperti anak saya sendiri. Makanya saya biarkan dia beringsut kepangkuan saya dan berayun-ayun diatasnya.
“Om tau cerita anak angsa dan keluarga bebek?”
“Nggak!”
“Mau denger ceritanya? Mamah semalem certain dongeng itu ke Mia.”
Mia memandangi saya dengan lucunya. Saya mulai mencubit pipinya yang kemerahan.
“Mau!”
“Gini ceritanya; ada anak angsa yang hidup bersama keluarga bebek. Dia selalu dikucilkan sama anak-anak bebek lainnya, karena wajahnya yang berbeda. Menurut mereka wajah anak angsa itu jelek. Dan mereka tidak mau bermain dengannya. Anak angsa itu sedih, dia selalu menyindiri di dalam kamar. Setelah berbulan-bulan akhirnya anak angsa itu memberanikan diri keluar dari kamar. Keluarga bebek itu kaget karena sekarang anak angsa itu menjadi cantik. Bulunya putih halus, paruh dan cakarnya kuning lembut, matanya bulat dan indah. Semua suka kepadanya termasuk anak-anak bebek yang tetap berbulu coklat dan kusam. Sekarang anak angsa itu tidak sedih lagi. Dan dia bisa bermain dengan bebas dan gembira.”
Saya menangkap gerak matanya yang berbinar-binar saat bercerita. Sungguh saya seperti melihat seseorang yang lain yang pernah dekat dengan saya dan kemudian menghilang. Mia menjadi sosok lama yang hidup untuk menghidupi kenangan saya.
“Mia mau menjadi seperti anak angsa itu yang menjadi besar dan cantik.”
“Mia tidak harus menjadi besar. Karena sekarang pun Mia sudah cantik.”
Anak itu tertawa. Badannya yang menempel pada saya membuat keakraban kami menjadi hangat. Ya, anak ini semakin lucu saja. Tanpa sadar satu kecupan lembut mendarat di pipinya