Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pembunuh Pembunuh

12 Januari 2011   02:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:41 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mayat siapa yang akan kita kubur?"

Ma'mar tak kontan menanggapi pertanyaan Joko. Tak ada kepentingannya. Belasan bahkan mungkin sampai puluhan lubang kubur yang telah mereka gali selama ini, tak pernah mereka pedulikan tubuh mati siapa yang akan mengisinya. Tapi kali ini ada sesuatu yang membuat Joko jadi penasaran.

Memang agak sedikit janggal, kuburan yang mereka gali tak berada di lokasi pemakaman biasanya. Entah tanah siapa, mungkin tak ada yang punya. Letaknya beberapa ratus meter ke dalam rapatnga pepohonan pinus dari jalan besar. Sangat terpencil untuk dikunjungi orang. Mungkin makam pribadi, sebab disana sudah ada empat gundukan tanah dengan pasak kayu yang sangat tak terurus.

Mengingat itu penasaran Joko bertambah. "Siapa yang mati, Bang?"

Pacul yang tengah dalam genggaman Ma'mar dilepaskan seketika. Kelihatan sekali kekesalan di wajahnya. "Kalau lu terus nyanya soal itu, lu yang bakal mati!"

Tentu tak serius, tapi itu cukup membuat Joko terdiam kecut, tak bisa menunjukkan reaksi yang tepat. Dan demi menghindari keketusan berkelanjutan dari kerabatnya itu, Joko kembali meraih pacul dan mulai mengayunkannya mengarah ke tanah.

Memang sudah berulang Ma'mar menjelaskan jika juragan Arislah yang menyuruhnya menggali tiga liang lahat malam ini, tanpa pernah diberi tahu mayat-mayat siapa yang akan dikuburkan. Dan itu memang bukan urusan penggali kubur, kerjaan mereka cuma menggali dan menutupnya kembali. Tak peduli jika si mayat cuma bangkai kucing tua yang terlindas mobil.

"Juragan Aris kasih kita bayaran gede untuk liang-liang ini. Motor lu bisa lu tebus lagi dari si Mamat. Sisanya bisa lu pake buat ajak Nisa nonton bioskop. Gede kan? Pikirin aja itu!"

Sekali dua Joko melirik pada Ma'mar. Memang lumayan jika bayarannya sebesar itu. Biasanya, sisa seratus ribu di kantong saja itu sudah bagus. Apalagi ini. Bisa jadi malam minggu nanti Joko sudah berani mengajak Nisa pergi nonton bersama dengan motornya. Akhirnya cuma itu saja yang dia bayangkan untuk membuatnya semangat. Meski sesungguhnya menggali tiga kuburan dalam semalam pasti akan sangat melelahkan.

Patromak dibesarkan. Mereka kemudian kembali giat lagi bekerja. Cahaya dari sana membuat bayang-bayang yang bergerak di sudut lain. Mirip ayam-ayam yang sedang mematuk.

***

Pasti ada yang ditunggu Juragan Aris selarut begini. Berkali-kali diliriknya ujung jalan dari jendela kamar yang dibuka lebar. Berkali-kali juga nafasnya terhembus dalam tiap kali dia kembali dari jendela itu. Empat puntung sisa rokok yang telah dibakar dan dihisapnya tergeletak tak karuan di atas meja depan. Padahal disitu sudah ada asbak kaleng yang bersanding dengan secangkir besar kopi hitam yang tinggal seperempat. Sekali waktu ditendangnya kaki meja itu seenaknya karena tak sengaja terkait. Suara yang dihasikannnya kerap mengagetkan Reni dari tidurnya. Istrinya yang merasa terganggu itu kadang cuma bisa menarik napas lepas. Jika cukup berani, dia akan mengingatkan suaminya untuk sabar menunggu, atau menyuruhnya menelpon kembali orang yang ditunggunya itu. Meski akan percuma saja. Di saat resah begini, juragan Aris tak kan pernah menggubris saran orang, termasuk dari istrinya sendiri.

Jam dinding di atas kepalanya berbunyi sebelas kali. Juragan Aris mendongak, kemudian kepalanya turun lagi bersamaan dengan lenguhan panjangnya. Belum sempat umpatannya terlahir, dia mendengar suara berisik dari pintu pagar rumahnya. Bergegas badannya beranjak dari kursi, buru-buru dibukakannya pintu kemudian mendekati suara gaduh itu.

"Maaf, Gan...telat!" sambut suara di luar pagar. Juragan Aris cepat membuka kunci pagar, lalu menyuruh tamunya itu segera masuk.

"Bukan telat lagi ini mah!” bersungut-sungut wajah Juaragan Aris. Dia kemudian mengajak tamunya ke sudut pojok teras. "Di sini aja. Bini gue belum bener-bener tidur."

Kedua orang itu duduk serempak. Sang tamu mengeluarkan rokok siap dibakar, Juragan Aris menolak ketika ditawari. "Emang apa sih alangannya?”

“Itu, Gan... Si Arif, agak alot dia orangnya. Padahal racun yang ane kasih di gelasnya udah lebih dari takaran. Kepaksa ane cekek abis-abisan, baru bisa mati dia!’

Juragan Aris melotot. “Kenapa pake nyekek?”

“Ane cuma mastiin dia mati aja, Gan!”

Juragan tampak gusar tak karuan. Aksi kerasan dengan tangan sepertinya memang bukan bagian dari rencananya.

“Tapi tenang, Gan! Ane jamin nggak ada yang liat aksi ane. Itu udah ane perhitungkan.”

"Bininya?"

"Dia lebih mudah, baru minum seteguk aja udah koit."

“Mayatnya lu bawa?”

“Udah ane bungkus di mobil box!"

Juragan Aris nampak lebih tenang. Rencananya seperti telah berjalan sempurna. Dua orang yang mengancam reputasinya sudah dia libas habis. Semua karena ulahnya sendiri sebenarnya. Juragan Aris, pemilik dua hektar palawija, dua lahan peternakan ayam, dan sebuah sarang burung walet terlalu licik untuk dijatuhkan oleh ancaman Arif, seorang suami yang kedapatan memergoki sang juragan mencoba bermain mesra dengan istrinya. Arif bisa saja menghabisi nyawa sang juragan saat itu juga. Keahlian bela dirinya masih tersisa dari latihan Boxer selama dua tahun saat dia bekerja sebagai satpam. Tapi otaknya yang tengil yang dipilihnya untuk melakukan tindakan balas dendam pada Juragan Aris. Arif meminta uang sakit hati sebesar 5 juta setiap bulannya. Jika melanggar maka keahlian fisiknya yang dia gunakan untuk mengingatkan juragan. Tapi belum sampai tiga bulan, Juragan Aris seperti punya cara tersendiri menghentikan ancaman Arif. Yaitu dengan menghentikan detak jantung mereka.

Juragan Aris sudah memperhitungkan matang-matang. Dia tahu, masyarakat juga tahu, tiap akhir bulan pasangan suami istri itu selalu melancong di rumah orang tua si istri selama beberapa hari untuk mengurus tambak lele penduduk sekitar di Cibeusi. Arif kebagian memanen dan mengirimkannya ke Jakarta. Paling cepat empat hari mereka baru kembali ke rumah. Kesempatan inilah yang dipilih juragan. Dia sudah mengajak Dhani, salah satu anak buahnya yang dia panggil dari Cirebon. Di sana, Dhanilah yang mengurusi usaha burung waletnya. Dari dia pula ide racun itu berasal. Termasuk bagaimana dia bisa mengajak suami istri itu mau ikut bersama dengan mobilnya menuju lokasi yang mereka tuju. Sempurnalah! Jika masyarakat merasa kehilangan mereka di kemudian hari, tak ada yang bisa dicurigai.

"Sekarang gimana?"

"Kita berangkat!"

"Juragan ikut juga?"

"Gue juga pengen ngeliat mereka dikubur." Juragan Aris kembali ke dalam rumah. Dikenakannya jaket kulit dan topi lakennya. Di depan lemari kaca besar, tangannya merogoh ke dalam sebuah laci, mengambil sesuatu kemudian diselipkannya dalam pinggang. "Ayo berangkat!"

****

"Cepat lemparkan masing-masing kesana!" perintah Juragan. Tergesa-gesa Ma'mar dan Joko menjatuhkan tubuh-tubuh itu ke dalam liang yang mereka gali. Tinggal satu liang lagi tersisa. Untuk mayat siapa lagi kira-kira? Itu juga pertanyaan yang berkecamuk di kepala Dhani. Dia sudah berpikiran macam-macam ketika mengetahui ada tiga liang kubur di tanah ini. Tapi tak sempat juga bertanya. Karena tak seperti saat di rumah tadi, Juragan Aris jadi sukar sekali diajak bercakap bahkan sejak dalam perjalanan. Itu sebuah pertanda sepertinya.

"Sekarang pulanglah! Gue udah bayar lu berdua, gue gak butuh lagi tenaga kalian!"

"Nguburnya?" tanya Ma'mar tersendat.

"Biarin! Pergi sekarang!"

Tanpa perlu lagi bertanya keduanya segera membereskan peralatan. Joko masih sempat meneguk sisa kopi dari gelas yang mereka minum bersama. Selesai membersikan tangan seadanya cepat saja keduanya beranjak menuju tempat motor Ma'mar yang diparkir beberapa meter dari situ. Tak sampai lima menit mereka pun menghilang dalam gelap, meninggalkan dua tubuh berdiri tersisa. Yang satu kalut ketakutan, yang satu lagi pongah dengan tangan yang mengacungkan pistol rakitan ke arah kepala lawannya.

"Lho...apa ini, Gan?" Dhani terkejut bukan main.

"Lu pikir gue bakal ngebiarin pelaku kejahatan dan saksi mata hidup-hidup!"

"Gan... Apa maksudnya, Gan? Ane nggak bakal ngehianatin Juragan!" Dhani memohon tergagap-gagap. Sama sekali tak menyangka muara aksinya akan berakhir begini.

"Haha...gue percaya sama kata-kata lu! Tapi gue lebih percaya sama intuisi gue. Orang macam lu emang penjilat!"

"Ane mohon, Gan! Sumpah ane nggak bakalan begitu...! Ane lebih bisa dipercaya dibanding penggali-penggali itu yang juragan biarin bebas..."

"Haha... Lu pikir gue bego? Termos kopi yang gue sediain buat mereka sore ini udah gue kasih racun racikan lu sedikit. Paling telat sebelum subuh mereka udah mampus! Hahaha...! Sekarang giliran lu!"

"Gan...tolong...Gan!" Perasaan Dhani makin tak karuan. Nafasnya naik turun. Ludahnya berulang kali terteguk tak sadar. Dalam hidupnya lebih dari lima kali dia menghabiskan hidup seseorang dengan cara meracun. Hingga kematian bukan hal yang terlalu asing dalam hidupnya. Kecuali dengan kematiannya sendiri.

Pistol sudah benar-benar di arahkan pada jidat Dhani, pelatuk sudah ditarik, takdir telah siaga turun. "Bersiaplah, Dhan..!"

"Gaaan..."

Pelatuk dilepas. DOR!

Dhani rubuh. Juragan Aris tertawa-tawa.

****

"Tepatnya dimana?"

"Saya kurang tau, Pak! Tapi saya yakin ini jalan menuju Cibeusi. Setelah warung makan ada turunan tajam, di tikungan pertama Bapak akan melihat mobil box diparkir. Saya sudah ada di sana, mengikutinya pakai motor. Bapak tahu kan tempatnya?"

"Dekat situ ada palang jalan yang hancur, kan?"

"Iya benar, Pak!"

"Baik, kami akan segera kesana. Berhati-hatilah, Bu! Ibu tak kan tahu apa yang diperbuat lelaki itu jika mendapati ibu."

"Iya, cepat segera datang ya, Pak Polisi!"

"Pasti! Oh ya, nama ibu siapa tadi?"

"Reni, Pak. Reni!" Telepon kemudian ditutup.


******
Cirebon, 11 1 11
Hari penuh misteri :D. Yang merasa namanya disebut silakan buat kisah 'pembalasannya' atas pencemaran nama baik ini. Hahaha!
Gambar diambil dari www.tentang-sehat.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun