Waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2019 tinggal menghitung hari. Namun demikian, kepastian akan terbentuknya peta koalisi partai -- partai yang akan mengusung jagoannya maju dalam pesta demokrasi paling bergengsi di tanah air tersebut hingga kini masih belum menemukan titik terang.
Para pengamat memperkirakan, hanya ada dua pasangan yang memiliki peluang cukup besar untuk mengikuti kompetisi tersebut. Hal ini dikarenakan beratnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Namun, hadirnya poros ketiga pun bukan hal yang mustahil mengingat kondisi politik di tanah air yang penuh dengan dinamika.
Demi meraih simpati publik, berbagai cara dilakukan oleh sang petahana. Mulai dari "memanjakan" para pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan pemberian Tunjangan Hari Raya sampai dengan menaikkan tunjangan Bintara Pembina Desa (Babinsa) hingga 700 persen lebih. Â
Tidak hanya itu, kabar tentang menurunnya angka kemiskinan di tanah air pun sengaja dirilis untuk meyakinkan publik bahwa pemerintah memang telah bekerja dengan sungguh -- sungguh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.Â
Adapun untuk meyakinkan masyarakat bahwa kekayaan alam yang selama ini dikuasai asing telah berhasil kembali "direbut", divestasi 51 persen saham Freeport pun menjadi salah satu isu yang digaungkan oleh pihak -- pihak yang selama ini menjadi pendukung pemerintah.
Setali tiga uang, berita tentang besarnya keuntungan yang bisa diperoleh negeri ini akibat melemahnya nilai  tukar rupiah terhadap dolar juga menjadi bagian dari ikhtiar yang dilakukan oleh pembantu presiden untuk menyelamatkan wajah sang majikan di hadapan rakyatnya.Â
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika seperti yang terjadi akhir -- akhir ini justru memberikan keuntungan yang cukup besar bagi Indonesia.Â
Menurutnya, setiap depresiasi nilai rupiah sebesar Rp 100 dari asumsi kurs APBN, pemerintah menerima pendapatan tambahan sebesar Rp 1,7 triliun. Mantan Pelaksana Direktur Bank Dunia itu pun menambahkan bahwa pelemahan kurs rupiah yang terjadi pada enam bulan pertama tahun ini bisa menjadi kompensasi bagi membengkaknya belanja subsidi, pembayaran bunga utang serta dana bagi hasil.
Selain di bidang ekonomi, bidang hukum pun menjadi garapan yang cukup penting yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meraih kepercayaan masyarakat. Adapun pembentukan tim untuk memberantas pungutan liar yang diberi nama Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Tim Saber Pungli) diharapkan mampu memerangi berbagai pungutan liar di berbagai lini kehidupan masyarakat yang selama ini dianggap sangat meresahkan.Â
Tim yang dinakhodai oleh Menko Polhukam itu pun bertekad untuk terus mengawasi jalannya proses pelayanan kepada masyarakat terutama terkait perizinan yang ditenggarai rawan pungli.Â
Dengan banyaknya "prestasi" yang berhasil diraih oleh pemerintahan saat ini tersebut masyarakat sudi untuk mendukung sang petahana untuk melanjutkan kepemimpinannya untuk kedua kalinya. Pertanyaannya, akankah upaya tersebut berhasil ?
Di lain pihak, kesulitan ekonomi yang kian parah justru dirasakan oleh sebagian masyarakat. Tingginya biaya hidup yang tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan secara memadai mengakibatkan kualitas hidup pun semakin menurun.Â
Banyaknya anak Indonesia yang mengalami gizi buruk maupun kekerdilan (stunting) membuat masyarakat mempertanyakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang selama ini dibangga -- banggakan oleh pemerintah.Â
Tidak hanya itu, rencana pemerintah untuk merilis Elpiji non subsidi ke pasaran pun seakan menjadi "teror" tersendiri terutama bagi masyarakat dengan pendapatan pas -- pasan.
Adapun tersiarnya "kabar burung" yang menyatakan bahwa angka kemiskinan di tanah air telah mengalami penurunan secara signifikan hingga satu digit justru menjadi bahan kajian yang cukup menarik di pasar -- pasar tradisional maupun warung -- warung kopi.Â
Yang menjadi perhatian masyarakat bukanlah jumlah menurunnya warga miskin sebagaimana diklaim oleh pemerintah, melainkan parameter yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menentukan indikator kemiskinan.Â
BPS mengkategorikan setiap individu ke dalam kelompok miskin apabila yang  bersangkutan berpenghasilan kurang dari Rp. 14.000 perharinya. Artinya seorang kepala keluarga dengan penghasilan Rp.15000 per hari dan memiliki istri serta anak tidak dikategorikan ke dalam kelompok masyarakat miskin.
Data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut sontak saja mendapat respon cukup keras dari berbagai kalangan masyarakat. Menurut mereka, apa yang disampaikan oleh badan pemerintah tersebut sama sekali tidak masuk akal.
 Dengan standar penghasilan sebagaimana yang disebutkan oleh BPS, sangat mustahil seorang kepala dapat memenuhi kebutuhan sehari -- hari keluarganya secara layak.Â
Masyarakat pun menghimbau pemerintah agar memberlakukan gaji bagi seluruh pegawai BPS sesuai dengan standar minimal kemiskinan sebagaimana yang mereka tetapkan, yaitu antara empat ratus sampai lima ratus ribu rupiah per bulannya.Â
Dengan begitu, (para pegawai) BPS pun dapat merasakan kesulitan yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dan tidak sembarangan mengumbar data statistik demi kepentingan pencitraan sang majikan.
Lain halnya dengan bidang ekonomi, klaim keberhasilan pemerintah di bidang hukum pun nyatanya tidak seindah yang dibayangkan. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini dimana ketika media - media mainstream tak mampu lagi menggiring opini masyarakat sekehendaknya sebagaimana yang mereka lakukan di masa lalu, berita -- berita tentang kegagalan pemerintah dalam menghadirkan wajah -- wajah penyelenggara negara yang berkualitas dan berintegritas justru dapat diperoleh dengan mudah melalui media sosial.
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Suka Miskin Bandung atas dugaan pemberian fasilitas khusus bagi narapidana tertentu seakan menjadi tamparan bagi pemerintah dalam menghadirkan wajah hukum yang lebih beradab.Â
Adapun dugaan keterkaitan orang -- orang di sekitar lingkaran istana dalam mega skandal KTP Elektronik sebagaimana disebutkan oleh para saksi di pengadilan seakan menambah keraguan masyarakat terhadap itikad baik pemimpin negeri ini dalam menunjuk orang -- orang yang dipercaya untuk melayani kepentingan rakyat.Â
Tidak hanya itu, adanya kesan tebang pilih dalam penanganan kasus -- kasus besar dengan kerugian negara yang mencapai triliunan pun semakin sulit untuk dihindarkan.
Berdasarkan beberapa peristiwa yang digambarkan oleh penulis di atas, sudah selayaknya setiap pemimpin maupun calon -- calon pemimpin senantiasa bersikap jujur kepada rakyat yang (akan) dipimpinnya.Â
Di era keterbukaan informasi seperti saat ini sangat sulit bagi siapa pun untuk menyembunyikan kenyataan di lapangan. Setiap klaim keberhasilan yang diungkapkan ke publik akan langsung disikapi oleh masyarakat dengan menunjukkan bukti pembanding.Â
Lebih dari itu, setiap kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara negara di masa kini maupun masa lalu dapat tersebar dengan mudah melalui media sosial.Â
Oleh karenanya, penulis secara pribadi menghimbau kepada mereka yang akan mencalonkan (kembali) sebagai seorang pemimpin negeri untuk senantiasa berbuat jujur  kepada masyarakat. Jika tidak, sanksi sosial pun siap diberikan oleh mereka yang merasa menjadi korban (calon) pemimpin yang ingkar janji ataupun kerap kali berbicara tidak sesuai dengan kenyataan. (Dimuat di Koran Pasundan Ekspres Edisi 03 Agustus 2018)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI