Di lain pihak, kesulitan ekonomi yang kian parah justru dirasakan oleh sebagian masyarakat. Tingginya biaya hidup yang tidak diiringi dengan peningkatan pendapatan secara memadai mengakibatkan kualitas hidup pun semakin menurun.Â
Banyaknya anak Indonesia yang mengalami gizi buruk maupun kekerdilan (stunting) membuat masyarakat mempertanyakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang selama ini dibangga -- banggakan oleh pemerintah.Â
Tidak hanya itu, rencana pemerintah untuk merilis Elpiji non subsidi ke pasaran pun seakan menjadi "teror" tersendiri terutama bagi masyarakat dengan pendapatan pas -- pasan.
Adapun tersiarnya "kabar burung" yang menyatakan bahwa angka kemiskinan di tanah air telah mengalami penurunan secara signifikan hingga satu digit justru menjadi bahan kajian yang cukup menarik di pasar -- pasar tradisional maupun warung -- warung kopi.Â
Yang menjadi perhatian masyarakat bukanlah jumlah menurunnya warga miskin sebagaimana diklaim oleh pemerintah, melainkan parameter yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menentukan indikator kemiskinan.Â
BPS mengkategorikan setiap individu ke dalam kelompok miskin apabila yang  bersangkutan berpenghasilan kurang dari Rp. 14.000 perharinya. Artinya seorang kepala keluarga dengan penghasilan Rp.15000 per hari dan memiliki istri serta anak tidak dikategorikan ke dalam kelompok masyarakat miskin.
Data yang dikeluarkan oleh BPS tersebut sontak saja mendapat respon cukup keras dari berbagai kalangan masyarakat. Menurut mereka, apa yang disampaikan oleh badan pemerintah tersebut sama sekali tidak masuk akal.
 Dengan standar penghasilan sebagaimana yang disebutkan oleh BPS, sangat mustahil seorang kepala dapat memenuhi kebutuhan sehari -- hari keluarganya secara layak.Â
Masyarakat pun menghimbau pemerintah agar memberlakukan gaji bagi seluruh pegawai BPS sesuai dengan standar minimal kemiskinan sebagaimana yang mereka tetapkan, yaitu antara empat ratus sampai lima ratus ribu rupiah per bulannya.Â
Dengan begitu, (para pegawai) BPS pun dapat merasakan kesulitan yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat dan tidak sembarangan mengumbar data statistik demi kepentingan pencitraan sang majikan.
Lain halnya dengan bidang ekonomi, klaim keberhasilan pemerintah di bidang hukum pun nyatanya tidak seindah yang dibayangkan. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini dimana ketika media - media mainstream tak mampu lagi menggiring opini masyarakat sekehendaknya sebagaimana yang mereka lakukan di masa lalu, berita -- berita tentang kegagalan pemerintah dalam menghadirkan wajah -- wajah penyelenggara negara yang berkualitas dan berintegritas justru dapat diperoleh dengan mudah melalui media sosial.