Biasanya saya akan memasang sebuah foto disini. Lengkap dengan sebuah judul yang nyentrik, agar redaktur Kompasiana yang menjaga gawang untuk tema saya acapkali pilih (yakni, Politik) mau ataupun sudi menjejelnya di lampiran depan.Â
Tapi saya rasa suatuhal semacam ini perlahan mulai sirna di dalam pikiran saya setelah beberapabulan ini saya habiskan tanpa menuliskan satu barang pun tentang permasalahan negara sekarang yang membuat saya gelisah. Malah saya mulai gelisah dengan diri saya sendiri.
Ini makin diperkuat dengan pepatah Socrates bahwa seseorang harus menemui dirinya sendiri agar menjadi bahagia. Saya sering dengar ini dari Soesilo Toer, salah seorang adik lelaki dari keluarga besar bapaknya Pramoedya Ananta Toer. Ia menjadi pemulung, dia bahagia. Sedangkan saya sendiri, makin lama makin tidak senang terhadap diri sendiri seiring bertambahnya ilmu tentang ekologi-politik.Â
Seumpamanya wahana Kompasiana adalah Instagram, lantas tiapkali saya mencetuskan satu - dua kritik tentang kekonyolan dari Negara dan mendapatkan audiensi banyak dari Anda sekalian, nantinya akan menjadi semacam pemicu bertumpah-ruahnya hormon dopamin di dalam otak saya.Â
Sedangkan dengan begitu, saya akan berbicara tentang diri saya sendiri. Karena itu pula saya tak akan berbicara secara berunut--mungkin pada beberapa bagian saya akan terdengar tidak jelas, karena semua ini langsung berasal dari dalam pikiran saya.
Karena itulah saya memberi judul untuk esai ini seperti itu. Dari Segala Ruang Hidup, dan berdasarkannya saya seiring sejalan belajar politik lebih mendalam lagi, entah mengapa tiba-tiba saya merasa sendiri di tengah-tengah ruang hidup yang saya jelajahi dari satu ke yang lainnya, kendati beberapa bulan sebelumnya--bahkan kalau boleh jujur, sampai tahun demi tahun sebelum ini, saya merasa nyaman dengan diri saya sendiri.Â
Saya tak pernah ketemu jawaban untuk pertanyaan ini kecuali dari karya Debord, seorang Situasionis bermetodekan ilmu Marxisme, bertajuk The Society of the Spectacle--dimana ia meramal bahwa masyarakat pada fase kapitalisme puncak akan berubah arah dari eksploitasi-komoditas (seumpamanya mirip para bangsawan yang selalu berfoya-foya dengan hartanya, menumpahkan emas-emas mereka miliki ke atas lalu menggelincir balik kebawah) menjadi sebuah spectacle.Â
Konsepnya ia perinci lebih lanjut; Debord berkata bahwa seorang spectacle adalah seseorang yang hidup dengan segala hal menarik dan bagus mereka tunjukkan kepada masyarakat untuk menyatu dengan kehidupan masyarakat.Â
Ada banyak jenis pembedahan terhadap konsep ini namun lebih umum, sejak dari dulu, makna dari teori Debord adalah bahwa kita lebih banyak menunjuk untuk bersama orang banyak dengan fetisisme-komoditi yang terlalu berlebih dewasa ini ketimbang bekerja saja untuk klas tertinggi dalam suatu tatanan sosial tertentu. Mengapa saya menjabarkan sesuatu semacam ini? Begini alasannya.
Agaknya bagi orang-orang yang kenal dengan nama saya, dan sempat membaca beberapa artikel saya telah tulis sebelum ini, sudah bisa menangkap bahwa saya adalah seorang pemuda biasa.Â
Kalau mengejutkan, saya akui agaknya saya memang terlalu banyak membaca buku, walaupun jenisnya wabil khusus sastra Jepang dan Eropa saja. Tentang siapa diri saya pribadi, tak akan saya ungkap disini, karena mungkin nanti akan disalahgunakan oleh orang-orang tertentu. Yang pasti, saya adalah anak kedua dari sebuah keluarga besar dengan darah perpaduan antara seorang kromo dari Karanganyar, bangsawan dan pejabat Gouvernment dari Tapanuli dan Banten.