Secara terminologi, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu "corruptus" yang artinya adalah kerusakan atau kebobrokan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyelewengan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.Â
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi menyebutkan bahwa korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.Â
Sementara Wijayanto (2009,6) mengatakan bahwa pengertian korupsi yang paling populer digunakan termasuk World Bank dan UNDP adalah "the abuse of public office for private gain" yang berarti penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepentingan pribadi.Â
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian korupsi adalah perilaku jahat dan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan wewenang sehingga dapat merugikan negara dan kesejahteraan rakyat.
Robert E. Klitgaard yang memandang korupsi dari sisi administrasi pemerintahan melalui model yang paling klasik dan populer yang sering dibahas oleh pakar antikorupsi (Wijayanto, 2009). Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi adalah sebuah perilaku yang menyimpang dari tugas jabatannya dalam pemerintahan untuk memperoleh keuntungan pribadi seperti status atau sejumlah uang dan melanggar aturan dalam organisasi.
 Dalam teorinya, Klitgaard merumuskan formula yang berisi tentang faktor-faktor penyebab korupsi. Formulanya adalah C = D + M -- A (Teori CDMA), dengan penjelasan Corruption = Discretion + Monopoly - Accountability.Â
Arti dari formula tersebut adalah korupsi dapat terjadi jika terdapat adanya keleluasan kewenangan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin, maka semakin tingga kewenangan sehingga semakin tinggi juga potensi terjadinya korupsi.Â
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat keleluasaan kewenangan tersebut adalah dengan melalui job description yang lebih jelas diikuti dengan proses monitoring dan evaluasi yang lengkap serta pertanggungjawaban yang jelas atas wewenang yang telah dilaksanakan (Wijayanto, 2009).Â
Dengan melalui pengendalian internal yang baik, didukung dengan proses evaluasi dari pemeriksa eksternal dan penyajian laporan keuangan yang lengkap maka dapat semakin mengurangi keleluasaan kewenangan sehingga potensi terjadinya korupsi juga semakin menurun.
Sementara Bologne (2006) sebagaimana dikutip dalam Utari (2011) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya fraud diantaranya Greed (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan).Â
Teori ini sering disebut dengan GONE Theory. Greed memiliki arti bahwa motif seseorang melakukan kecurangan atau korupsi disebabkan oleh adanya keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Opportunities memiliki arti bahwa pada sistem yang ada dapat memberikan kesempatan terjadinya korupsi.Â
Needs memiliki arti bahwa motif seseorang melakukan kecurangan atau korupsi adalah sikap mental seseorang yang tidak pernah merasa cukup atau penuh sikap konsumerisme.Â
Sedangkan exposure memiliki arti bahwa hukuman yang diberikan kepada para pelaku korupsi sangat rendah. Dengan adanya teori-teori tersebut, tidak dapat dipungkiri jika korupsi dapat terjadi dimanapun tidak terkecuali pada instansi pemerintah daerah.
1. Apa yang menyebabkan korupsi?
Korupsi bisa terjadi karena adanya tekanan ekonomi sering kali menjadi pemicu utama tindakan korupsi, di mana individu merasa terdorong untuk mencari cara cepat memenuhi kebutuhan materialnya atau  untuk mencapai status sosial yang tinggi. Selain itu faktor kesempatan sangat berpengaruh dalam tindakan korupsi.Â
Ketika sistem pengawasan lemah dan terdapat celah dalam aturan yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi menjadi lebih mungkin terjadi. Tanpa adanya kesempatan, orang yang mengalami tekanan besarpun kemungkian kecil tidak akan melakukan korupsi.Â
Rasionalisasi adalah pembenaran yang dilakukan oleh pelaku korupsi untuk meredam rasa bersalah. Para koruptor mencari alasan yang dapat membenarkan tindakan mereka, misalnya dengan berpikir bahwa tindakan yang dilakukan adalah balasan atas ketidakadilan yang dialami, seperti gaji yang tidak memadai dan lainnya.
Selain itu ada Faktor Internal dan Eksternal yang menyebabkan KorupsiÂ
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri sendiri. Ketika seseorang memiliki nilai integritas yang rendah, maka faktor ini akan mendorongnya untuk melakukan korupsi.
Sementara, faktor eksternal di antaranya adalah lingkungan sekitar. Jika seseorang berada di lingkungan yang orang-orangnya rentan bahkan pernah melakukan korupsi, ini dapat mendorong orang itu untuk melakukan korupsi.
Faktor tersebut menjadi tantangan bagi masing-masing lembaga pemerintahan untuk dapat menanamkan budaya antikorupsi. Ini karena meskipun seseorang memiliki nilai integritas yang tinggi, tetapi budaya di lembaganya tidak mendukung untuk mencegah korupsi.
Oleh karena itu, pakta integritas yang merupakan pendorong faktor internal jelas bukan menjadi solusi utama dalam pencegahan perilaku korupsi di lembaga.
Riset lainnya mengklasifikasi faktor penyebab masih tingginya budaya korupsi ke dalam tiga area, yakni tata kelola, penegakan hukum dan politik.
Faktor tata kelola berhubungan dengan sistem dan cara kerja lembaga itu sendiri dalam menekan korupsi. Korupsi cenderung tinggi di lembaga yang memberikan minim informasi terkait aturan dan tata cara pelayanan. Sedikitnya informasi yang tersedia atau informasi yang tidak jelas akan menyebabkan disinformasi, sehingga memungkinkan oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kesempatan tersebut.
Dalam sisi tata kelola, sumber daya manusia yang memiliki keterbatasan dalam pengetahuan praktik korupsi dan nilai integritas terjadinya praktik korupsi lebih rentan terjadi.
Tata kelola yang buruk juga berkaitan dengan proses birokrasi yang masih cukup berlapis dan berbelit dalam lembaga. Reformasi birokrasi yang pemerintah pusat maupun dearah lakukan sepertinya masih jauh dari kata sempurna. Ini sempat dikeluhkan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang pada akhirnya sering sekali mendorong lembaga untuk melakukan praktik single window policy (kebijakan satu pintu). Namun, meskipun single window policy sudah dilakukan, praktiknya belum ideal.
Padahal, dengan adanya single window policy, kegiatan pelayanan dapat dilakukan dalam satu proses. Apalagi kemajuan teknologi dapat membuat pelaksanaan single window policy bisa dilakukan lebih mudah. Hanya saja dalam implementasinya, perlu dilakukan perubahan dalam pola pikir dan sistematika dalam bekerja.
Faktor lemahnya penegakan hukum dalam memberantas aktivitas korupsi juga menjadi masalah besar. Pemimpin instansi bahkan belum terlihat memiliki keinginan yang kuat untuk menghilangkan korupsi.Â
Kasus mantan ketua KPK Firli Bahuri yang dinyatakan melanggar etik ketika menangani kasus dugaan korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), misalnya, bisa jadi contoh kuat bagaimana pucuk pimpinan lembaga antirasuah pun bisa terjerumus ke dalam lingkaran korupsi.
Sedangkan faktor terakhir adalah faktor politik. Kedekatan terhadap tokoh yang memiliki kekuatan politik yang kuat masih dinilai sebagai 'kartu as' yang perlu dipertahankan. Praktik balas budi ini juga menjadi salah satu akibat banyaknya praktik korupsi. Budaya kekeluargaan di Indonesia disalahartikan menjadi membantu satu sama lain walaupun hal itu adalah kegiatan yang tidak beretika.
Pemberantasan korupsi memerlukan komitmen pemimpin yang berintegritas. Dalam teori manajemen perubahan, komitmen pemimpin merupakan syarat mutlak untuk melakukan perubahan. Ini karena pemimpin memiliki wewenang dan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang ada dalam lembaga.
Tentu tidak ada "obat mujarab" untuk menghilangkan korupsi sepenuhnya. Namun, hal yang paling bisa dilakukan oleh pemerintah adalah menciptakan budaya dan lingkungan antikorupsi di seluruh lembaga pemerintahan. Sistem dan budaya yang sehat akan menciptakan perilaku yang bersih.Â
Â
2. Kenapa Korupsi Masih Marak Terjadi?
Korupsi masih menjadi masalah besar yang belum bisa ditangani di Indonesia. Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, pemberantasan korupsi masuk ke dalam lima besar isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Mengapa korupsi begitu membudaya, siapa saja aktor yang terlibat hingga bagaimana kita bisa menumpas korupsi menjadi pertanyaan yang acap diajukan warga.
Semenjak KPK dibentuk sebagai lembaga yang secara khusus menangani pemberantasan korupsi pada 2003, sampai saat ini masih belum ada tanda penurunan tingkat korupsi di Indonesia.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), pada tahun 2022 tiga tertinggi jumlah aktor korupsi berasal dari pegawai pemerintahan daerah (365 kasus), aktor swasta (319 kasus), dan kepada desa (174 kasus). Artinya, dengan penerapan pakta integritas yang hampir diterapkan di berbagai lembaga pemerintahan, praktik korupsi masih tetap terjadi.
Tingginya kasus mengindikasikam bahwa selama 20 tahun KPK berdiri, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari tindak pidana korupsi.
KPK bukan menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewajiban untuk menangani praktik korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan juga memiliki wewenang dalam menindak tindak pidana korupsi. Selain adanya lembaga yang menindak, upaya untuk menekan praktik korupsi juga sudah ditunjukkan dengan adanya penerapan pakta integritas.
Pakta integritas diatur melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 49 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pakta Integritas di Lingkungan Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.Â
Aturan ini menjelaskan bahwa pakta integritas adalah dokumen yang berisi pernyataan atau janji kepada diri sendiri tentang komitmen melaksanakan seluruh tugas, fungsi, tanggung jawab, wewenang, dan peran sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, sepertinya pakta integritas semacam bukan merupakan jawaban atas praktik korupsi yang masih tumbuh subur di instansi pemerintahan.
Lalu, mengapa praktik korupsi masih terjadi begitu masif dan sulit diberantas?
Korupsi masif dan sulit diberantas karena berbagai alasan yang kompleks. Salah satu penyebab utama adalah kurangnya sistem akuntabilitas dan transparansi di lembaga pemerintahan dan organisasi.Â
Tanpa sistem yang transparan, tindakan korupsi menjadi sulit dideteksi dan ditindak. Selain itu, monopoli kekuasaan pada satu pihak atau kelompok tanpa adanya pengawasan yang memadai memberikan peluang bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Faktor budaya juga memainkan peran penting dalam maraknya korupsi. Di beberapa tempat, korupsi telah menjadi sesuatu yang dianggap wajar atau bahkan sebagai "biaya" yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan atau keuntungan tertentu.Â
Kebiasaan ini kemudian menjadi bagian dari budaya yang sulit dihilangkan. Tekanan ekonomi dan sosial juga sering mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup atau memenuhi standar sosial tertentu.
3. Bagaimana Cara Mengatasi Korupsi?
Strategi Cara Pemberantasan Korupsi
1. Represif
Melalui strategi represif, KPK menjerat koruptor ke meja hijau, membacakan tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan. Inilah tahapan yang dilakukan:
A. Penanganan Laporan Pengaduan Masyarakat
Bagi KPK, pengaduan masyarakat merupakan salah satu sumber  informasi terpenting. Sebagian besar kasus korupsi ditemukan melalui pengaduan  masyarakat. Sebelum memutuskan apakah suatu pengaduan dapat masuk ke tahap penyidikan, KPK melakukan proses verifikasi dan review.
B. Penyelidikan
Kegiatan yang dilakukan KPK bertujuan untuk menemukan. Alat bukti yang cukup. Bukti permulaan yang cukup dianggap ada jika ditemukan sedikitnya 2 alat bukti. Jika  bukti  permulaan yang cukup tidak ditemukan, penyidik menghentikan  penyelidikan.
Jika kasus tersebut diusut, KPK akan melakukan sendiri penyidikan  atau dapat melimpahkan kasus kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan. Jika penyidikan dilimpahkan ke kepolisian atau kejaksaan, maka polisi atau kejaksaan wajib mengoordinasikan dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
C. Penyidikan
Tahap ini salah satunya ditandai dengan penetapan seseorang sebagai tersangka. Jika ada dugaan  kuat bahwa ada bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menyita izin ketua pengadilan negeri.
Pasal juga memungkinkan penyidik KPK untuk terlebih dahulu memperoleh izin untuk memanggil tersangka atau menahan tersangka yang pejabat publik yang menurut undang-undang, tindakan polisi terhadap mereka harus diperoleh terlebih dahulu.
Untuk kepentingan penyidikan,  tersangka wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang segala harta bendanya dan harta benda pasangannya, anak-anaknya dan harta benda  orang lain atau perusahaan yang diketahui atau dicurigai orang itu.
Terkait dengan perilaku koruptif tersangka. KPK tidak berwenang mengeluarkan . perintah penghentian penyidikan dan penuntutan kasus korupsi. Artinya, setelah KPK menetapkan orang sebagai tersangka, prosesnya harus dilanjutkan hingga penuntutan.
D. Penuntutan
Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum setelah penyidikÂ
menerima berkas. Dalam waktu 1 hari kerja setelah menerima berkas, berkas  tersebut harus diserahkan ke pengadilan negeri.
Dalam hal ini, Penuntut Umum KPK dapat melakukan penahanan terhadap tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang lagi dengan izin pengadilan untuk paling lama 30 hari. Pelimpahan ke Pengadilan Tipikor disertai berkas perkara dan surat dakwaan. Dengan dilimpahkannya ke pengadilan, kewenangan penahanan secara yuridis beralih ke hakim yang menangan
E. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Jaksa melakukan eksekusi dengan kekuatan hukum tetap. Untuk itu, panitera mengirimkan salinan putusan kepada jaksa.
Istilah Hukum dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi
- Saksi: Orang yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan  suatu perkara pidana yang pernah didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.
- Tersangka: Seseorang yang berdasarkan perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga telah melakukan kejahatan.
- Terdakwa: Seorang tersangka yang dituntut, ditanyai, dan diadili oleh pengadilan.
- Dihukum: Seseorang yang dihukum oleh pengadilan dengan kekuatan hukum tetap.
- Tindakan perbaikan: Kejaksaan atau terdakwa dapat mengambil tindakan perbaikan jika mereka menganggap keputusan pengadilan tingkat pertama di pengadilan distrik tidak memuaskan.
- Kasasi: Upaya hukum  dapat dilakukan oleh Penuntut Umum atau oleh termohon jika keputusan akhir dari pengadilan  selain Mahkamah Agung ditemukan tidak cukup.
- Inkrah: Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Saksikan: Tindakan Hukum Luar Biasa Terhadap Mahkamah Agung setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap
2. Perbaikan Sistem
Tidak dapat disangkal bahwa banyak sistem di Indonesia yang justru menyisakan celah bagi terjadinya praktik korupsi. Misalnya, prosedur kepegawaian menjadi lebih rumit, sehingga menimbulkan suap, dll.
Tentu saja, ada banyak lagi. Tidak hanya terkait dengan utilitas, tetapi juga terkait dengan perizinan, pembelian barang dan jasa, dll. Tentu saja, perbaikan diperlukan. Karena sistem yang baik dapat meminimalisir terjadinya korupsi. Misalnya, melalui layanan publik online, sistem pemantauan terintegrasi, dll.
KPK juga telah melakukan berbagai upaya untuk membenahi sistem tersebut. Berdasarkan berbagai kajian yang dilakukan, KPK memberikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga terkait untuk melakukan tindakan perbaikan.
Selain itu, juga dengan penataan pelayanan publik melalui koordinasi dan pemantauan preventif (korsupgah), serta dengan mendorong transparansi otoritas publik (PN). Sedangkan untuk mendorong transparansi dari Penyelenggara Negara (PN), KPK menerima laporan dan bonus dari LHKPN. Untuk LHKPN, setiap penyelenggara negara wajib melaporkan harta kekayaannya kepada KPK.
Untuk bonus, penerima harus melapor ke KPK dalam waktu 30 hari setelah menerima bonus atau pejabat terkait dianggap menerima suap.
Upaya pencegahan tertentu melalui pemantauan dan koordinasi preventif (Korsupgah) yang dilakukan KPK bekerjasama dengan BPKP 70Â
Dalam melaksanakan tugas koordinasinya, KPK berhak meminta laporan dari instansi yang berwenang tentang pencegahan  korupsi. Sedangkan dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, KPK berhak melakukan pengawasan, penyidikan, atau pemeriksaan terhadap
instansi yang menjalankan fungsi dan kewenangannya terkait dengan pemberantasan korupsi dan Instansi pelaksanaan tugas.
Kegiatan Korsupgah yang dilakukan KPK meliputi perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, utilitas rumah sakit, pelayanan uji kelayakan kendaraan bermotor dan utilitas di PTSP.
Berdasarkan pengamatan tersebut, KPK kemudian  mengidentifikasi  masalah dan penyebabnya dalam proses pelayanan publik dan APBD yang dikelola untuk program ketahanan pangan, pertambangan dan pendapatan dan mengidentifikasi kelemahan dalam sistem pengendalian internal dan risiko di unit kerja.
Selain itu, KPK sedang menyusun rencana aksi pencegahan korupsi dan peningkatan pelayanan publik yang  dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengurangi kemungkinan kejahatan korupsi dan tingkat korupsi.
3. Edukasi dan Kampanye
Salah satu hal penting dalam pemberantasan korupsi, adalah kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan adanya persepsi yang sama, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah. Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki pemahaman seperti itu.
Contoh paling sederhana adalah ide ucapan terima kasih kepada PNS, yang dianggap biasa saja. Contoh lainnya adalah tidak semua orang memiliki minat yang sama terhadap korupsi.
 Hanya karena mereka merasa "tidak mengenal" si pelaku, atau karena mereka merasa "hanya orang biasa", banyak orang merasa tidak memiliki kewajiban moral untuk berpartisipasi.
Inilah sebabnya mengapa pendidikan dan kampanye sangat penting. Dalam rangka pencegahan, pendidikan dan kampanye memiliki peran strategis dalam  pemberantasan korupsi. Melalui edukasi dan advokasi, KPK meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak korupsi, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerakan antikorupsi, serta membangun budaya dan perilaku  antikorupsi.
Tidak hanya untuk pelajar dan masyarakat umum, tetapi juga untuk kelompok usia prasekolah, taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Dengan target usia yang luas ini, KPK berharap negara pada akhirnya akan dipimpin oleh generasi antikorupsi.
4. Strategi Preventif
Upaya pencegahan atau preventif adalah upaya pencegahan korupsi untuk mengurangi penyebab dan peluang seseorang melakukan perilaku korupsi. Upaya penahanan dapat dipelopori dengan:
- Penguatan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
- Memperkuat Mahkamah Agung dan tingkat peradilan di bawahnya.
- Mengembangkan kode etik di sektor publik.
- Mengembangkan kode etik di bidang partai politik, organisasi profesi dan asosiasi bisnis.
- Terus-menerus mencari penyebab korupsi.
- Meningkatkan pengelolaan sumber daya manusia atau personalia dan meningkatkan kesejahteraan PNS.
- Memerlukan penyusunan rencana strategis dan pelaporan tanggung jawab kinerja kepada instansi pemerintah.
- Meningkatkan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen.
- Pengelolaan Barang Milik Negara atau BKMN Lengkap.
- Meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat.
- Kampanye menciptakan nilai atau value dalam skala nasional.
5. Strategi Detektif
Upaya Pendeteksian adalah upaya untuk mendeteksi terjadinya kasus korupsi secara cepat, tepat dan biaya rendah. Jadi bisa langsung dilacak. Berikut upaya detektif dalam mencegah korupsi:
- Memperbaiki sistem dan memantau pengaduan  masyarakat.
- Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.
- Pelaporan harta pribadi pemegang kekuasaan dan fungsi publik.
- Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di kancah internasional.
- Peningkatan kemampuan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah atas APFP dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.
Daftar Pustaka:
http://eprints.pknstan.ac.id/44/7/Arifin%20Nur%20Hidayat_1401170080%20Bab%20II.pdf
https://theconversation.com/mengapa-korupsi-masih-marak-terjadi-219826
https://policy.paramadina.ac.id/mengapa-korupsi-masih-marak-terjadi/
https://www.gramedia.com/best-seller/strategi-cara-pemberantasan-korupsi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H