Mohon tunggu...
Rama P P
Rama P P Mohon Tunggu... Penulis Bebas -

Lakukan dengan benar apa yang sering kita fikirkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cakrawala Bahasa - Ludwig Wittgenstein

27 November 2015   22:32 Diperbarui: 27 November 2015   23:29 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahasa dan Filsafat

Bahasa adalah salah satu dari beberapa hal yang sangat penting di dalam filsafat. Tanpa bahasa, kita akan sulit untuk mengerti akan sesuatu, di dalam ungkapan atau tulisan suatu bahasa pasti mengandung makna, dan makna itu akan merujuk sesuatu fakta. Lalu, apa sebenarnya bahasa itu ? menurut saya bahasa merupakan suatu tanda yang dibuat oleh manusia sesuatu dengan aturan yang dibuat oleh manusia juga untuk merujuk kepada sesuatu, sehingga bahasa itu mempunyai makna.

Walaupun begitu bahasa di dalam filsafat juga tidak lepas dari kritik. Permasalahan yang ada di dalam filsafat tentang bahasa itu adalah 1) apa yang menyebabkan di dalam bahasa terdapat ambigu ?; 2) apa itu bahasa ?; 3) permasalahan makna, sehingga bahasa itu bisa memiliki makna; 4) apa yang bisa dimengerti dan tidak bisa dimengerti oleh bahasa itu sendiri ? itu merupakan permasalahan-permasalahan dasar tentang bahasa, dimana bahasa itu sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

Ludwig Wittgenstein

Salah satu filsuf yang membahas tentang bahasa adalah Ludwig Wittgenstein. Ia lahir di Wina, Austria pada tanggal 26 April 1889. Ia dibesarkan oleh orang tua mereka sebagai seorang Kristiani, ayah dan ibunya merupakan keturunan Yahudi namun ayahnya beragama Kristen Protestan, sedangkan ibunya beragama Katolik. Sejak kecil Wittgenstein sangat menyukai musik, maka dari itu ia sangat mahir bermain klarinet dan bersiul. Siulan Wittgenstein sangat berbeda dengan siulan lainnya, karena siulan Wittgenstein itu bisa memainkan lagu-lagu klasik yang ada. Contoh-contoh yang ia berikan di dalam tulisnnya pun tidak terlepas dari kesukaannya dia terhadap musik.

Pada tahun 1906, ia belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Berlin, lalu ia melanjutkan kembali studinya di Manchester. Pada awalnya ia sangat tertarik dengan matematika dan filsafat matematika. Pada tahun 1911, ia bertemu dengan Frege, lalu saat itu Frege menyarankan Wittgenstein untuk belajar pada Bertrand Russel. Pada tahun 1912 ia masuk Universitas Cambridgedan mempelajari filsafat di bawah bimbingan Russel.

Sewaktu Perang Dunia I, ia menjadi sukarelawan untuk tentara Austria, di dalam tugasnya sebagai sukarelawan itu, ia menulis buku tentang filsafat yang diselesaikannya pada tahun 1918. Dan ketika ia ditahan oleh tentara Italia, ia mengirim tulisannya itu kepada Frege dan Russell. Hal inilah yang membuat Wittgenstein dibebaskan oleh Russell. Ia menulis sebuah karya yang merupakan hasil dari perbincangannya dengan Russell, yaitu Logischphilosophiche Abhandlungen. Lalu tulisan ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Tractatus Logico Philosophus yang pada kata pengantarnya ditulis oleh Russell. Buku inilah yang sangat mempengaruhi kelompok Lingkaran Wina.

Buku selanjutnya yang ia tulis adalah Philosophical Investigation, buku ini ia selesaikan pada tahun 1947. Buku ini berisi kritik terhadapa pemahaman dirinya sendiri terhadap isi dari Tractatus, maka dari itu saat ini, untuk mempermudah mengerti pemikiran Wittgenstein digunakan istilah Wittgenstein I (Tractatus Logico Philosophus), dan Wittgenstein II (Philosophical Investigation).

Pada sebelum akhir kehidupannya ia sering sekali mengalami depresi, dikarenakan oleh penyakit jiwa yang ia alami, dan juga ketakutannya terhadap penyakit jiwa itu. Menurut Wittgenstein, hanya dengan berfilsafat ia bisa mangatasi depresinya itu. Kata-kata terakhir yang ia katakan adalah “Tell them I’ve had a Wonderful life”

 

Wittgenstein I : Tractatus Logico Philosophus

Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa bukti Wittgenstein I adalah bukunya yang berjudul Tractatus Logico Philosophus. Pada kata pengantar buku tersebut tertulis Perhaps this book will be understood only by someone who has himself already had the thoughts that are expressed in it--or at least similar thoughts.”[1]. Hal ini ingin menjelaskan bahwa buku ini sebenarnya bisa dimengerti ketika kita mempunyai pengalaman. Hal ini bisa menjelaskan bahwa pemikiran Wittgenstein I berlandaskan pada pengalaman manusia.

Isi buku Tractatus sebenarnya tidak menjelaskan teori apapun, tapi isinya lebih ke pengungkapan dan penggunaan bahasa sehingga bahasa itu bisa memiliki makna. Teori Wittgenstein I sangat mirip dengan atomisme logis Bertrand Russel. Di dalam pengantarnya tertulis “The whole sense of the book might be summed up the following words: what can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence.” Hal ini menjelaskan bahwa apa yang bisa dikatakan berarti harus bisa dijelaskan secara faktual, dan apa yang tidak bisa dijelaskan berarti tidak memiliki makna, jadi lebih baik diam ketika terdapat bahasa yang tidak bisa dijelaskan.

Inti pemikiran dari Wittgenstein I adalah picture theory yang bisa dianggap sebagai teori pemaknaan bahasa. Wittgenstein menjelaskan bahwa bahasa itu harus menggambarkan realitas yang ada, dan makna dari bahasa itu akan timbul dari realitas tersebut. Contohnya adalah apabila polisi melakukan olah TKP bukan di tempat kejadian, polisi akan menggunakan sesuatu benda yang bisa mengungkapkan kejadian yang sebenarnya terjadi. Hal ini menyebutkan bahwa bahasa merupakan analogi dari realitas.

Di dalam penjelasannya Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi itu terdiri dari nama-nama, dan nama-nama itu menunjuk kepada suatu obyek di dalam realitas. Namun menurut Wittgenstein nama itu sendiri tidak memiliki makna, nama itu tidak bisa dikatakan benar atau salah di dalam penggunaannya. Namun ketika nama itu sudah masuk ke dalam proposisi maka nama itu secara langsung memiliki makna. Di dalam bukunya yaitu Tractatus Wittgenstein sendiri tidak menjelaskan apa yang disebut nama itu sendiri. Tapi menurut saya yang dimaksudkan Wittgenstein tentang nama itu contohnya seperti kursi, kita tahu kursi itu ada di dalam realitas kita, namun apabila kursi itu berdiri sendiri tanpa ada penjelasan maka kita tidak tahu kursi apakah itu. Namun ketika kita katakan kursi yang berwarna merah itu biasa digunakan untuk duduk tamu. Maka kita mengerti makna kursi itu sendiri dan tahu kursi mana yang dimaksud.

Konsekuensi picture theory milik Wittgenstein adalah bahwa proposisi metafisis itu tidak bermakna, karena secara relaitas tidak bisa ditunjuk. Maka dari itu Wittgenstein bisa dianggap sebagai anti-metafisika. Pada akhir dari Tractatus ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang dianggap “mistis”, yaitu

  1. Subyek, The subject does not belong to the world: rather, it is a limit of the world. Hal ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita yang menggunakan bahasa ini tidak termasuk dari dunia dikarenakan kita menggambarkan dunia dan seharusnya kita berada di luar dunia
  2. Kematian, Death is not an event in life: we do not live to experience death. Kematian bukanlah bagian dari kejadian-kejadian, jadi mana mungkin kematian itu bisa dijelaskan dengan bahasa. Kematian adalah batas dunia dari yang tiada.
  3. Allah, God does not reveal himself in the world[2]. Allah tidak dapat dipandang bahwa Ia berada di dalam dunia. Dan apabila Allah itu berada di dalam dunia, seharusnya Allah itu mempunyai makna, tapi kita masih tidak mengetahui makna Allah itu sendiri.
  4. Bahasa, My propositions are elucidatory in this way: he who understands me finally recognizes them as senseless, when he has climbed out through them, on them, over them. (He must so to speak throw away the ladder, after he has climbed up on it.)
  5. Bahasa itu tidak mungkin bisa menggambarkan dirinya sendiri. Bahasa itu seperti cermin, jadi tidak mungkin cermin bisa memantulkan bayangannya sendiri. Dari penjelasan ini sebenarnya jelas bahwa Tractatus itu bukan berusaha menjelaskan bahasa, namun ingin menjelaskan bahwa buku tersebut itu tidak bermakna. Ia hanya ingin menunjukkan dunia lewat bahasa.

 

Wittgenstein II: Philosophical Investigations

Philosophical Investigations adalah buku kedua dari Wittgenstein, buku ini berbeda dengan Tractatus yang berupa poin-poin yang berusaha menjelaskan poin utamanya dengan bahasa-bahasa yang singkat. Buku ini berisi dari 693 poin atau bisa dikatakan paragraph dengan bahasa yang cukup rumit.

Di dalam bukunya yang ini, Wittgenstein berusaha mengkritisi apa yang pernah ia tulis di Tractatus. Menurut Wittgenstein bahasa itu bukan sekedar mencari hakikatnya, namun yang lebih penting adalah bagaimana kita menggunakan bahasa tesebut. Di dalam Tractatus Wittgenstein berusaha menemukan hakikat bahasa sebagai sebuah tanda atau gambaran darai sebuah realitas, namun hal ini sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa selain perbedaan dari tanda atau gambaran tersebut.

Di dalam kritik terhadap teorinya sendiri, ia berpendapat sebenarnya kita itu bukan mencari hakikat bahasa, namun lebih ke permasalahan bagaimana penggunaan bahasa itu bisa terjadi di dalam kehidupan. Maka dari itu Wittgenstein mengeluarkan teori “language games” atau permainan bahasa.

“Here the term "language-game" is meant to bring into prominence the fact that the speaking of language is part of an activity or of a form of life”

Apabila kita lihat pernyataan diatas, kita akan melihat bahwa permainan bahasa itu ingin mengungkapkan bahwa bahasa adalah salah satu bentuk aktivitas manusia atau bentuk kehidupan.

Lalu apa itu permainan bahasa? istilah permainan bahasa itu sendiri ingin menjelaskan bahwa sebenarnya di dalam bahasa itu terdapat suatu aturan-aturan yang berbeda-beda sehingga kita bisa mengerti dan memahami. Contohnya adalah aturan bahasa di dalam penulisan cerita dengan bahasa untuk pembacaan cerita tersebut, di dalam penulisan cerita terdapat aturan untuk menggunakan tanda baca, namun ketika kita membacakannya kita tidak mungkin untuk membacakan tanda baca tersebut, atau contoh lainnya adalah di dalam setiap cabang olahraga pasti mempunyai aturan-aturan yang berbeda-beda, kita tidak mungkin menggunakan peraturan sepakbola di dalam olahraga basket, begitu pula sebaliknya. Berikut ini adalah contoh permainan bahasa yang diungkapkan di dalam bukunya yaitu Philosophical Investigations :

  • Giving orders, and obeying them—
  • Describing the appearance of an object, or giving its measurements-
  • Constructing an object from a description (a drawing)—
  • Reporting an event—
  • Speculating about an event—
  • Forming and testing a hypothesis—
  • Presenting the results of an experiment in tables and diagrams—
  • Making up a story; and reading it—
  • Play-acting—
  • Singing catches—
  • Guessing riddles—
  • Making a joke; telling it—
  • Solving a problem in practical arithmetic—
  • Translating from one language into another—

 

Di dalam bukunya Wittgenstein tidak berusaha untuk menunjukkan aturan-aturan baku yang ada di dalam bahasa itu, ia hanya ingin menunjukkan bahwa penggunaan bahasa satu dengan bahasa yang lain itu akan berbeda.

Wittgenstein juga menjelaskan bahwa cara kita mengkaji bahasa itu adalah dengan cara grammatical investigation. Walaupun ia melihat bagaimana caranya kita mengkaji bahasa, tapi tetap saja dia tidak menunjukkan aturan gramatika apa yang harusnya diikuti agar kita bisa memahami bahasa, ia hanya menjelaskan caranya yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang ada. Sebagai contoh saat ini terdapat bahasa yang kita sebut sebagai bahasa alay, di dalam bahasa alay ini pengungkapan bahasa itu digabungkan antara huruf dengan angka ataupun dengan cara tidak menggunakan spasi, contohnya “4ku s4y46 K@^^u”. Lalu cara kita untuk memahami bahasa tesebut adalah dengan cara memahami aturan yang ada di dalam bahasa alay tersebut, kita tidak bisa memaksakan aturan bahasa yang kita biasa pergunakan ke dalam bahasa tersebut apabila kita ingin memahami bahasa itu.

Kesimpulan

Wittgenstein adalah salah satu filsuf yang sangat penting di dalam filsafat kontemporer, khususnya di bidang bahasa. Apabila kita lihat di dalam pemikirannya, Wittgenstein I lebih membahas tentang persoalan analitik bahasa. Di dalam pembahasannya ia berusaha untuk menteorisasi bahasa dengan pembahasan yang obyektif, namun di Wittgenstein II pembahasannya lebih ke bagaimana bahasa itu digunakan atau dengan kata lain bahasa sebagai sesuatu yang berguna di dalam kehidupan manusia (pragmatisme)

Apabila kita lihat lebih jauh lagi, pemikiran Wittgenstein I ini sangat mempengaruhi pemikiran dari lingkaran Wina yang selanjutnya mempengaruhi pemikiran filsuf-filsuf Cambridge lalu berkembang kemudian di Oxford. Sedangkan Wittgenstein II memperlihatkan bahwa bahasa itu bernilai guna, sehingga bahasa dianggap penting di dalam kehidupan manusia. Kedua pandangan Wittgenstein terhadap bahasa ini membuat pemahaman kita tentang bahasa itu menjadi semakin berwarna, sehingga semakin menunjukkan bahwa tidak ada yang pasti di dalam suatu pemikiran, kecuali ketidakpastian tersebut atau yang lebih dikenal dengan “keniscayaan”

DAFTAR PUSTAKA

  • Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
  • Riko, Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2011
  • Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico Philosophus. Inggris: Routledge, 2001

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun