Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa bukti Wittgenstein I adalah bukunya yang berjudul Tractatus Logico Philosophus. Pada kata pengantar buku tersebut tertulis “Perhaps this book will be understood only by someone who has himself already had the thoughts that are expressed in it--or at least similar thoughts.”[1]. Hal ini ingin menjelaskan bahwa buku ini sebenarnya bisa dimengerti ketika kita mempunyai pengalaman. Hal ini bisa menjelaskan bahwa pemikiran Wittgenstein I berlandaskan pada pengalaman manusia.
Isi buku Tractatus sebenarnya tidak menjelaskan teori apapun, tapi isinya lebih ke pengungkapan dan penggunaan bahasa sehingga bahasa itu bisa memiliki makna. Teori Wittgenstein I sangat mirip dengan atomisme logis Bertrand Russel. Di dalam pengantarnya tertulis “The whole sense of the book might be summed up the following words: what can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence.” Hal ini menjelaskan bahwa apa yang bisa dikatakan berarti harus bisa dijelaskan secara faktual, dan apa yang tidak bisa dijelaskan berarti tidak memiliki makna, jadi lebih baik diam ketika terdapat bahasa yang tidak bisa dijelaskan.
Inti pemikiran dari Wittgenstein I adalah picture theory yang bisa dianggap sebagai teori pemaknaan bahasa. Wittgenstein menjelaskan bahwa bahasa itu harus menggambarkan realitas yang ada, dan makna dari bahasa itu akan timbul dari realitas tersebut. Contohnya adalah apabila polisi melakukan olah TKP bukan di tempat kejadian, polisi akan menggunakan sesuatu benda yang bisa mengungkapkan kejadian yang sebenarnya terjadi. Hal ini menyebutkan bahwa bahasa merupakan analogi dari realitas.
Di dalam penjelasannya Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi itu terdiri dari nama-nama, dan nama-nama itu menunjuk kepada suatu obyek di dalam realitas. Namun menurut Wittgenstein nama itu sendiri tidak memiliki makna, nama itu tidak bisa dikatakan benar atau salah di dalam penggunaannya. Namun ketika nama itu sudah masuk ke dalam proposisi maka nama itu secara langsung memiliki makna. Di dalam bukunya yaitu Tractatus Wittgenstein sendiri tidak menjelaskan apa yang disebut nama itu sendiri. Tapi menurut saya yang dimaksudkan Wittgenstein tentang nama itu contohnya seperti kursi, kita tahu kursi itu ada di dalam realitas kita, namun apabila kursi itu berdiri sendiri tanpa ada penjelasan maka kita tidak tahu kursi apakah itu. Namun ketika kita katakan kursi yang berwarna merah itu biasa digunakan untuk duduk tamu. Maka kita mengerti makna kursi itu sendiri dan tahu kursi mana yang dimaksud.
Konsekuensi picture theory milik Wittgenstein adalah bahwa proposisi metafisis itu tidak bermakna, karena secara relaitas tidak bisa ditunjuk. Maka dari itu Wittgenstein bisa dianggap sebagai anti-metafisika. Pada akhir dari Tractatus ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang dianggap “mistis”, yaitu
- Subyek, The subject does not belong to the world: rather, it is a limit of the world. Hal ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita yang menggunakan bahasa ini tidak termasuk dari dunia dikarenakan kita menggambarkan dunia dan seharusnya kita berada di luar dunia
- Kematian, Death is not an event in life: we do not live to experience death. Kematian bukanlah bagian dari kejadian-kejadian, jadi mana mungkin kematian itu bisa dijelaskan dengan bahasa. Kematian adalah batas dunia dari yang tiada.
- Allah, God does not reveal himself in the world[2]. Allah tidak dapat dipandang bahwa Ia berada di dalam dunia. Dan apabila Allah itu berada di dalam dunia, seharusnya Allah itu mempunyai makna, tapi kita masih tidak mengetahui makna Allah itu sendiri.
- Bahasa, My propositions are elucidatory in this way: he who understands me finally recognizes them as senseless, when he has climbed out through them, on them, over them. (He must so to speak throw away the ladder, after he has climbed up on it.)
- Bahasa itu tidak mungkin bisa menggambarkan dirinya sendiri. Bahasa itu seperti cermin, jadi tidak mungkin cermin bisa memantulkan bayangannya sendiri. Dari penjelasan ini sebenarnya jelas bahwa Tractatus itu bukan berusaha menjelaskan bahasa, namun ingin menjelaskan bahwa buku tersebut itu tidak bermakna. Ia hanya ingin menunjukkan dunia lewat bahasa.
Wittgenstein II: Philosophical Investigations
Philosophical Investigations adalah buku kedua dari Wittgenstein, buku ini berbeda dengan Tractatus yang berupa poin-poin yang berusaha menjelaskan poin utamanya dengan bahasa-bahasa yang singkat. Buku ini berisi dari 693 poin atau bisa dikatakan paragraph dengan bahasa yang cukup rumit.
Di dalam bukunya yang ini, Wittgenstein berusaha mengkritisi apa yang pernah ia tulis di Tractatus. Menurut Wittgenstein bahasa itu bukan sekedar mencari hakikatnya, namun yang lebih penting adalah bagaimana kita menggunakan bahasa tesebut. Di dalam Tractatus Wittgenstein berusaha menemukan hakikat bahasa sebagai sebuah tanda atau gambaran darai sebuah realitas, namun hal ini sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa selain perbedaan dari tanda atau gambaran tersebut.
Di dalam kritik terhadap teorinya sendiri, ia berpendapat sebenarnya kita itu bukan mencari hakikat bahasa, namun lebih ke permasalahan bagaimana penggunaan bahasa itu bisa terjadi di dalam kehidupan. Maka dari itu Wittgenstein mengeluarkan teori “language games” atau permainan bahasa.
“Here the term "language-game" is meant to bring into prominence the fact that the speaking of language is part of an activity or of a form of life”