Sejak kecil, kita diajar untuk menjadi pintar. Kita diajar untuk melatih pikiran kita, sehingga menjadi pintar. Dengan kepintaran tersebut, kita dianggap bisa hidup dengan baik di kemudian hari. Kita juga bisa menolong orang lain dengan kepintaran yang kita punya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Dengan pikiran, manusia menciptakan filsafat. Dari filsafat kemudian berkembanglah beragam cabang ilmu pengetahuan, seperti kita kenal sekarang ini. Dari situ lahirlah teknologi yang kita gunakan sehari-hari.
Akal Budi di Eropa
Di dalam sejarah Eropa, penggunaan akal budi manusia untuk berpikir menandakan lahirnya era baru di masa Yunani Kuno, sekitar 2300 tahun yang lalu. Cara berpikir mistik mitologis digantikan dengan cara berpikir logis rasional. Dunia tidak diatur oleh para dewa yang saling membenci, melainkan oleh hukum-hukum rasional yang bisa dipahami dengan akal budi. Dengan memahami hukum-hukum alam, manusia lalu bisa menguasai alam itu untuk kepentingannya.
Di era abad pertengahan, yakni sekitar tahun 1300-an di Eropa, penggunaan akal budi secara mandiri juga membuka era baru, yakni era renaisans yang kemudian mendorong era pencerahan (Aufklrung) Eropa. Orang lalu keluar dari fanatisme agama, dan mulai berani menata kehidupan pribadi maupun bersama dengan prinsip-prinsip yang masuk akal. Penggunaan akal budi secara mandiri dianggap sebagai jalan keluar dari segala bentuk kebodohan. Atmosfer optimisme terhadap perkembangan peradaban manusia terasa kuat di udara.
Di dalam filsafat dikenal argumen dari Rene Descartes, yakni aku berpikir, maka aku ada. Pikiran dianggap sebagai inti dari pribadi manusia. Pikiran juga dianggap sebagai satu-satunya hal yang tak terbantahkan keberadaannya, menurut Descartes. Sejak saat itu, penyelidikan mendalam terhadap struktur berpikir manusia pun dimulai.
Puncaknya, pada hemat saya, ada di dalam filsafat pengetahuan Immanuel Kant. Ia menegaskan, bahwa pikiran manusia bergerak dengan beragam kategori (Kategorien der Vernunft).Â
Dengan beragam kategori ini, yakni ruang, waktu, substansi, esensi, dan sebagainya, manusia bisa memahami dunianya. Dengan kata lain, pikiran manusia "menciptakan" dunia, yakni dunia sebagaimana dihidupinya.
Masalahnya
Optimisme terhadap pikiran manusia itu pun runtuh, sejalan dengan berubahnya waktu. Penjajahan Eropa atas seluruh dunia, perbudakan, pembunuhan massal, genosida dan dua perang dunia yang menghancurkan banyak negara membuka sisi gelap dari pikiran manusia.Â
Akal budi berubah menjadi semacam alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang justru tidak rasional, seperti perang dan perbudakan. Akal budi menciptakan cara pandang dualistik-antagonistik yang melahirkan perbedaan kawan-lawan.
Cara pandang dualistik yang memisahkan dan membuat tegangan antar manusia inilah akar dari segala konflik yang ada. Kita melihat orang lain sebagai sosok yang berbeda, bahkan musuh. Kita juga melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah, yang bisa diperas untuk kepentingan kita. Pada tingkat pribadi, cara pandang dualistik antagonistik ini melahirkan kecemasan yang mendalam di dalam diri manusia, karena perasaan terpisah dengan alam dan manusia lain yang begitu kuat.
Adorno dan Horkheimer melihat semua gejala ini sebagai sebuah krisis. Mereka menyebutnya sebagai dialektika pencerahan (Dialektik der Aufklrung). Intinya adalah, bahwa akal budi telah berubah menjadi mitos baru. Ia adalah pembebas yang kini justru menjadi penjara baru bagi hidup manusia yang melahirkan banyak masalah.
Di dalam bukunya yang berjudul Teori Tindakan Komunikatif (Theorie des kommunikativen Handelns), Jrgen Habermas menawarkan jalan keluar dengan memahami akal budi sebagai akal budi komunikatif (kommunikative Vernunft). Sisi komunikatif ini sudah selalu ada di dalam bahasa dan di dalam pola pembicaraan antar manusia. Jika sisi ini dikembangkan, akal budi komunikatif bisa menjadi jalan keluar dari berbagai krisis di dalam kehidupan manusia. Akal budi komunikatif dianggap sebagai jalan keluar dari kebuntuan akal budi.
Namun, banyak kritik yang menyatakan, bahwa pemikiran Habermas ini terlalu ideal. Pengaruh kekuasaan dan kepentingan tidak pernah bisa dilepaskan di dalam hubungan antar manusia.Â
Teori tindakan komunikatif menarik secara teoritis dan filosofis. Namun, di dalam kehidupan politik nyata, ia tetap tunduk pada cengkraman kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar.
Di dalam bukunya Kritik der cynisischen Vernunft, Peter Sloterdijk menegaskan, bahwa akal budi tidak lagi dapat dijadikan sandaran bagi kehidupan manusia.Â
Terlalu banyak kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ia pun menyarankan, agar kita bersikap sinis terhadap akal budi kita sendiri. Tulisan-tulisan Sloterdijk lalu mengarah pada estetika sebagai jalan keluar dari segala kelemahan akal budi.
Tradisi Lain
Eropa bergulat dengan akar dari kebudayaannya sendiri, yakni penggunaan akal budi secara mandiri di dalam kehidupan manusia. Akal budi telah membawa banyak perkembangan bagi hidup manusia. Namun, harga yang harus dibayar pun tidak kecil. Perang raksasa sampai dengan penderitaan batin yang amat dalam adalah dua contoh yang paling nyata.
Ada tradisi lain yang mencoba memikirkan hakekat dari pikiran manusia. Tradisi ini adalah tradisi Zen yang berkembang di India, Cina, Korea dan Jepang.Â
Di dalam tradisi Zen, pada hakekatnya, pikiran manusia adalah kosong. Ia tidak memiliki inti yang mandiri. Ia muncul dari beragam hal yang saling terkait, lalu kemudian terpisah di waktu berikutnya.
Pikiran juga adalah sumber dari penderitaan hidup manusia. Ketika orang mulai berpikir, segalanya lalu muncul, yakni ruang, waktu, masa lalu, masa depan, penderitaan, kenangan dan ambisi.Â
Ketika manusia mengira, bahwa semua itu benar, maka ia jatuh ke dalam kelekatan dengan pikirannya sendiri. Ia pun jatuh ke dalam penderitaan hidup yang berat.
Jalan keluar dari ini adalah dengan kembali ke keadaan sebelum pikiran (before thinking). Keadaan sebelum pikiran ini disebut juga sebagai keadaan alamiah manusia. Keadaan ini tidak memiliki nama ataupun konsep. Ia jernih dan seperti ruang hampa luas.
Orang lalu diajarkan untuk hidup dari titik sebelum pikiran tersebut. Artinya, orang hidup sepenuhnya dari kejernihan. Ketika ia memutuskan, ia pun memutuskan dari kejernihan. Ketika ia bertindak, ia juga bertindak dari kejernihan.
Ada paradoks disini. Ketika orang hidup dari titik sebelum pikiran, ia melepaskan kelekatan dengan pikiran yang ia punya. Ketika kelekatan runtuh, orang lalu justru bisa menggunakan pikiran secara jernih dan tajam untuk menanggapi berbagai keadaan. Pikiran yang terbebaskan dari kelekatan adalah pikiran yang bisa membebaskan manusia dari segala bentuk masalah di dalam hidupnya.
Jika orang hidup dari titik sebelum pikiran, maka secara alami akan tumbuh cinta dan kebijaksanaan yang sejati di dalam dirinya. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian terhadap aturan-aturan masyarakat yang sudah ada sebelumnya, melainkan sebagai gerak batin yang muncul secara alami dari saat ke saat.Â
Hannah Arendt pernah menulis, bahwa bahaya terbesar peradaban manusia bukanlah sikap tidak patuh, melainkan kepatuhan buta pada aturan. Kepatuhan buta inilah yang melahirkan fanatisme terhadap beragam sistem yang melahirkan konflik dan penderitaan bagi begitu banyak orang.
Mencoba
Kita harus melepaskan kecanduan berpikir. Kita harus juga melepaskan kelekatan pada pikiran. Jalan keluar dari Zen menarik untuk dicoba, yakni kembali ke keadaan alamiah kita sebagai manusia sebelum segala pikiran muncul. Kita akan merasakan kejernihan yang luar biasa di dalam berpikir dan bertindak.
Kita tidak hanya lepas dari segala bentuk penderitaan batin, tetapi juga bisa menolong orang lain yang membutuhkan, sesuai dengan kemampuan kita. Zen memang bukan sekedar teori, tetapi laku hidup nyata. Buahnya bukan hanya kecerdasan, tetapi kedamaian, kejernihan dan kebijaksanaan yang sejati.
Anda tertarik mencobanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H