Mohon tunggu...
Ramadianto Machmud
Ramadianto Machmud Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism

Email: ramadianto.machmud@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup dari Titik Sebelum Berpikir

8 Desember 2019   03:28 Diperbarui: 8 Desember 2019   03:32 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pikiran juga adalah sumber dari penderitaan hidup manusia. Ketika orang mulai berpikir, segalanya lalu muncul, yakni ruang, waktu, masa lalu, masa depan, penderitaan, kenangan dan ambisi. 

Ketika manusia mengira, bahwa semua itu benar, maka ia jatuh ke dalam kelekatan dengan pikirannya sendiri. Ia pun jatuh ke dalam penderitaan hidup yang berat.

Jalan keluar dari ini adalah dengan kembali ke keadaan sebelum pikiran (before thinking). Keadaan sebelum pikiran ini disebut juga sebagai keadaan alamiah manusia. Keadaan ini tidak memiliki nama ataupun konsep. Ia jernih dan seperti ruang hampa luas.

Orang lalu diajarkan untuk hidup dari titik sebelum pikiran tersebut. Artinya, orang hidup sepenuhnya dari kejernihan. Ketika ia memutuskan, ia pun memutuskan dari kejernihan. Ketika ia bertindak, ia juga bertindak dari kejernihan.

Ada paradoks disini. Ketika orang hidup dari titik sebelum pikiran, ia melepaskan kelekatan dengan pikiran yang ia punya. Ketika kelekatan runtuh, orang lalu justru bisa menggunakan pikiran secara jernih dan tajam untuk menanggapi berbagai keadaan. Pikiran yang terbebaskan dari kelekatan adalah pikiran yang bisa membebaskan manusia dari segala bentuk masalah di dalam hidupnya.

Jika orang hidup dari titik sebelum pikiran, maka secara alami akan tumbuh cinta dan kebijaksanaan yang sejati di dalam dirinya. Moralitas tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian terhadap aturan-aturan masyarakat yang sudah ada sebelumnya, melainkan sebagai gerak batin yang muncul secara alami dari saat ke saat. 

Hannah Arendt pernah menulis, bahwa bahaya terbesar peradaban manusia bukanlah sikap tidak patuh, melainkan kepatuhan buta pada aturan. Kepatuhan buta inilah yang melahirkan fanatisme terhadap beragam sistem yang melahirkan konflik dan penderitaan bagi begitu banyak orang.

Mencoba

Kita harus melepaskan kecanduan berpikir. Kita harus juga melepaskan kelekatan pada pikiran. Jalan keluar dari Zen menarik untuk dicoba, yakni kembali ke keadaan alamiah kita sebagai manusia sebelum segala pikiran muncul. Kita akan merasakan kejernihan yang luar biasa di dalam berpikir dan bertindak.

Kita tidak hanya lepas dari segala bentuk penderitaan batin, tetapi juga bisa menolong orang lain yang membutuhkan, sesuai dengan kemampuan kita. Zen memang bukan sekedar teori, tetapi laku hidup nyata. Buahnya bukan hanya kecerdasan, tetapi kedamaian, kejernihan dan kebijaksanaan yang sejati.
Anda tertarik mencobanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun