Mohon tunggu...
Ramadianto Machmud
Ramadianto Machmud Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism

Email: ramadianto.machmud@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hidup dari Titik Sebelum Berpikir

8 Desember 2019   03:28 Diperbarui: 8 Desember 2019   03:32 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara pandang dualistik yang memisahkan dan membuat tegangan antar manusia inilah akar dari segala konflik yang ada. Kita melihat orang lain sebagai sosok yang berbeda, bahkan musuh. Kita juga melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah, yang bisa diperas untuk kepentingan kita. Pada tingkat pribadi, cara pandang dualistik antagonistik ini melahirkan kecemasan yang mendalam di dalam diri manusia, karena perasaan terpisah dengan alam dan manusia lain yang begitu kuat.

Adorno dan Horkheimer melihat semua gejala ini sebagai sebuah krisis. Mereka menyebutnya sebagai dialektika pencerahan (Dialektik der Aufklrung). Intinya adalah, bahwa akal budi telah berubah menjadi mitos baru. Ia adalah pembebas yang kini justru menjadi penjara baru bagi hidup manusia yang melahirkan banyak masalah.

Di dalam bukunya yang berjudul Teori Tindakan Komunikatif (Theorie des kommunikativen Handelns), Jrgen Habermas menawarkan jalan keluar dengan memahami akal budi sebagai akal budi komunikatif (kommunikative Vernunft). Sisi komunikatif ini sudah selalu ada di dalam bahasa dan di dalam pola pembicaraan antar manusia. Jika sisi ini dikembangkan, akal budi komunikatif bisa menjadi jalan keluar dari berbagai krisis di dalam kehidupan manusia. Akal budi komunikatif dianggap sebagai jalan keluar dari kebuntuan akal budi.

Namun, banyak kritik yang menyatakan, bahwa pemikiran Habermas ini terlalu ideal. Pengaruh kekuasaan dan kepentingan tidak pernah bisa dilepaskan di dalam hubungan antar manusia. 

Teori tindakan komunikatif menarik secara teoritis dan filosofis. Namun, di dalam kehidupan politik nyata, ia tetap tunduk pada cengkraman kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar.

Di dalam bukunya Kritik der cynisischen Vernunft, Peter Sloterdijk menegaskan, bahwa akal budi tidak lagi dapat dijadikan sandaran bagi kehidupan manusia. 

Terlalu banyak kelemahan yang terkandung di dalamnya. Ia pun menyarankan, agar kita bersikap sinis terhadap akal budi kita sendiri. Tulisan-tulisan Sloterdijk lalu mengarah pada estetika sebagai jalan keluar dari segala kelemahan akal budi.

Tradisi Lain

Eropa bergulat dengan akar dari kebudayaannya sendiri, yakni penggunaan akal budi secara mandiri di dalam kehidupan manusia. Akal budi telah membawa banyak perkembangan bagi hidup manusia. Namun, harga yang harus dibayar pun tidak kecil. Perang raksasa sampai dengan penderitaan batin yang amat dalam adalah dua contoh yang paling nyata.

Ada tradisi lain yang mencoba memikirkan hakekat dari pikiran manusia. Tradisi ini adalah tradisi Zen yang berkembang di India, Cina, Korea dan Jepang. 

Di dalam tradisi Zen, pada hakekatnya, pikiran manusia adalah kosong. Ia tidak memiliki inti yang mandiri. Ia muncul dari beragam hal yang saling terkait, lalu kemudian terpisah di waktu berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun