Kemudian Samil meilhat dari kejauhan sesosok yang dikenal dengan penyair sufi di semestanya. Sesosok penyair yang selalu waspada terhadap kemilau dan gemerlap dunia yang memperdayakan ini. Pikirnya dunia hanya serupa fatamorgana yang memabukkan, dengan tatapan mata yang menatap dengan penuh berahi, hati memikirkannya dengan penuh hasrat, dan jiwa menginginkannya dengan penuh harap.
 Ia melangkah mendekat dengan perlahan sebab takut mengganggu Sang Penyair yang sedang khusyuk di atas peraduannya. Penyair itu nampak sedang khidmat menatap mega di dalam rerimbun kabut lepas di bawah semburan air berwarna jingga di waktu senja bersama dengan aroma malam dan bulan saat purnama. Saking khusyuk ia menatap angin sampai bergenang air mata di atas peraduannya. Diriwayatkan memang Ia sering menghabiskan hari dengan sembahyang dalam renungan selayang pandang hingga garis wajahnya berlinang air mata sampai pagi menjelang kembali.
Â
Penyair sufi itu tinggi dan berbadan besar dengan rambut ikalnya yang terurai di atas bahu. Dia menelengkan kepalanya memandang Samil penuh selidik, terlihat dari sorot matanya yang tak lepas dari Samil. Kemudian penyair itu mengatakan sesuatu yang di luar jangkauan kemampuan Samil. "Tidurlah kemudian anggap seolah-olah kematian telah berada di dekatmu. Bayangkan dan ambillah saat itu juga segala sesuatu yang kau sukai dan segera tinggalkan segala sesuatu yang kau benci." Penyair itu bertutur.
Samil terhenyak, mendongak terpaku pada sepasang mata biru itu. Samil mengangguk singkat, lalu ditinggkalnya oleh penyair itu yang menyelinap lalu lenyap di sela pepohonan yang daunnya berguguran dihempas-hempaskan angin di hadapanku. Samil tertegun, bahwa penyair itu ada di dalam, bahwa dia ada di dalam otak Samil sekarang. Tentu saja Samil terkesima, penyair itu pernah masuk ke dalam kepalanya, karena memang di sanalah penyair itu berasal.
Perjalanan Samil tak pernah berhenti sampai pada destinasinya, langkah kakinya yang lelah hanya berputar-putar di atas bianglala yang mengerang di dalam kepala. Pertemuan antarjiwa yang terjadi di dalam dunia mimpi, dalam mimpi Samil itu sendiri, dan di sana si penyair hanyalah seorang tamu tak diundang barangkali, atau malah tamu istimewa yang telah dinanti-nanti. Tetapi tanpa Samil sadari ia telah mementaskan drama di atas panggung mimpinya di mana ia bertemu dengan penyair sufi di semesta mimpi. Samil dan Penyair itu bukanlah dua orang berbeda di dalam mimpi itu. mereka berdua berada di balik dinding mimpi dan imajinasi yang sama.
***
Kereta masih menderu-deru beradu cepat dengan waktu yang sedang berkejaran dengan detik yang berdetak di pucuk jarum jam. Di semesta mimpi, malam telah menjelang, menandakan rembulan telah datang ke peraduannya setelah senja lelah memancar hangat tadi sore di balik awan yang keemasan. Samil senang bisa melihat senja tadi sore, dan menikmati rembulan saat malam ini di sini, di dunia mimpi. Tetapi Samil mesti pulang dari mimpinya, kembali ke dunia nyata dan kembali pada tidur pulasnya di sana. Di dunia yang nyata di dalam gerbong kereta, Samil  masih dalam tidurnya yang lelap dan merasa tak perlu bangun lagi, yang ternyata sebenarnya Samil kembali bangkit dari tidurnya di sebuah antah berantah nan jauh di sana yang barangkali di sanalah destinasi terakhirnya berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H