Mendengar perkataan Sang Guru, Samil kembali melahirkan buah-buah pikirannya saat melamun di dalam balutan desir angin malan bersama kesunyian. Dari hal itu, Samil banyak belajar mengenai kebijaksaan cinta yang sederhana. Samil mencoba mencerna dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan kesederhanaan cinta.
Samil kembali ke gerbongnya tapi bayangan Sang Guru dengan raut senyumnya itu terus saja memenuhi pikirannya. Samil pergi tidur malam itu saat kereta kembali melesat pergi dari tempat itu. Tetapi ia tidak dapat tidur malam itu. kebisingan di dalam kepalanya mengalahkan deru bunyi kereta yang meraung-raung.
Â
Apa yang dikatakan lamunannya kemudian benar, Samil suka mengarang dongeng dan mitos tentangnya dan seutuh senja yang hilang berceceran di comberan. Entah mengapa, Samil sepertinya sering kehilangan akal sehatnya saat malam-malam mengerubungi pikirannya. Ia selalu menjadikan kesunyian sebagai renungan selayang pandang. Di dalam malam yang penuh dengan obrolan ia selalu meracau laju khayalan. Seperti setiap saat sering terjadi pergumulan yang tak sesungguhnya. Â Â Â
***
Â
Suara kereta sedang menderu-deru beradu bising dengan bunyi dengkuran. Samil tertidur pulas, amat sangat pulas, tetapi Samil terbangun di dunia lainnya. Ia menggumam ketika terbangun tidak berada di kursi penumpang kereta, melainkan ia terbangun pada setangkai bunga tidur di antah berantah. "Ini sorga?" Katanya dalam suara yang menggema. Ketika Samil tertidur di dunia nyata, di waktu bersamaan ia juga terbangun di dunia mimpi.
Â
Langit sedang bersemu keungu-unguan kala itu, Samil kembali mengarungi waktu bersama desir detik jarum jam yang berdetak pelan amat sangat lamban di dalam lamunannya sehingga pikirannya mendesah pelan nyaris tak terdengar. Seperti gerak bibir yang dilihat dari kejauhan, hanya lamat-lamat kedengaran suara detak dalam pikirannya yang sedang menyampaikan segenap rahasia yang sulit diterjemahkan oleh bahasa dan mustahil terungkapkan hanya oleh sepotong kata.
Dengan kepala yang selalu penuh dengan beragam rupa hal yang kadang kala semestinya tak mesti dipikirkan, Samil berada di alam bunga tidur yang didekap oleh kabut-kabut lembut. Matanya redup menatap mega di waktu fajar terbit dengan seraut wajah berisi kebingungan. Ia masih saja celingak-celinguk kikuk sambil memandangi lembaran awan yang berarak tak rata di atas langit. Ia tahu perjalanannya belum berakhir. Ia tak pernah tahu tepatnya, di mana dan kapan perjalanan ini akan berakhir. Perjalanan ini belum juga berakhir setelah Samil mengarungi beribu detik yang menjelma selembar kalender dari suatu masa pertama kali Samil merasakannya. Lagi pula siapa bisa menebak di mana sembunyinya dari segala akhir?
Di semesta mimpi, Samil melangkah pelan dan sangat hati-hati. Ia berjalan-jalan. Kemudian ia berada di sebuah jalan setapak yang sempit di antara pepohonan tinggi dengan celah-celah rerimbun daunnya memancarkan sinar dari sepotong mentari yang menyala-nyala. Menurutnya ini tempat yang sungguh asing yang sulit diterjemahkan dengan tepat dan dalam waktu yang cepat. Di bawah terpaan mega yang direka-reka dari lembar-lembar awannya yang berserakan itu, Ia mendengar suara tangis serta lantunan nyanyian cinta. Ia berjalan mengikuti bunyi yang menggema di telinganya sembari mengarungi tidurnya ke tempat yang sama menuju kota lampau itu, tempat di mana tujuh sorga berada.