Mohon tunggu...
Ramadhan Angga Notonegoro
Ramadhan Angga Notonegoro Mohon Tunggu... Human Resources - Sejatine urip iku gawe urup

Pelajar di Sekolah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menterimu Tidak Ada Apa-apanya Dibanding Mereka!

19 Oktober 2015   09:29 Diperbarui: 19 Oktober 2015   10:05 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Adakah yang lebih baik dari aliran nafas di detik ini? Bahwa Sang Maha Kekal masih membiarkan O2 masuk ke sela-sela paru-paru kita? Hingga kita masih bisa merasakan segarnya H2O yang mengalir membasahi tiap mikro meter dinding tenggorokan kita. Maka nikmat Tuhan kamu yg manakah yang kamu dustakan? Wahai pemimpin negeri ini.

Akhirnya Indonesia dipimpin oleh warga sipil untuk kali ke lima, sosok yang dikenal sederhana, merakyat, dan berpestasi dalam membangun kota. Tentu para pembaca sudah tahu siapa beliau. Namun bukan beliau yang akan saya bahaas disini, seperti yang anda baca pada Judul Tulisan saya, saya yakin anda baru saja membaca ulang judunya. Setelah rehat selama lebih dari setahun untuk menulis sebuah artikel, disini saya akan mengajak anda semua untuk berjalan-jalan ke masa lalu. Jangan tanya ke mana, tapi tanyalah kapan?! Baiklah mari kita mengunjungi tahun-tahun saat indonesia baru merdeka.

Selamat datang di masa awal kemerdekaan, dimana para pahlawan sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang belum lama diraih dengan pengorbanan harta, keluarga, hingga nyawa.

KH Saifuddin Zuhri

Pertama, seorang tokoh yang lahir di amben sebuah kabupaten di ujung barat Jawa Tengah, Kabupaten Banyumas, KH Saifuddin Zuhri, pria kelahiran The City of Knight (Kota Satria) ini dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, pemuka agama sekaligus pendidik yang terkmuka pada masa itu. Di era Bung Karno, Saifuddin Zuhri sempat diangkat sebagai Menteri Agama, namun hidupnya tetap sederhana meski memiliki diberikan jabatan tinggi.

Di jabatan strategis ini dirinya diuji, suatu kali adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) dari Departemen Agama. Meski sebenarnya lazim menghajikan orang yang potensial apalagi pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan adiknya.

"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tetapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.

Tak hanya itu, selepas menjadi Menteri, Saifuddin tetap berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang halal dan bersahaja. Dikutip dari buku "Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU" karangan Saifullah Ma'shum, jika banyak mantan menteri bergelut dalam bisnis yang prestise, justru Saifuddin memilih menjalani profesi sebagai pedagang beras di Glodok.

Sehabis shalat Dhuha, tanpa pengetahuan keluarganya, Saifuddin ke pasar Glodok berdagang beras. Selepas Zuhur, baru dirinya pulang. Kebiasaan menghilang ini dicurigai anak-anak Saifuddin. Sampai akhirnya salah satu anaknya mengelus dada karena ayahnya ketahuan berdagang beras di Pasar Glodok.

Prawoto Mangkoesasmito

Kembali saya sampaikan nama yang tidak banyak orang menghafal dan meletakan namanya dalam himpitan memoti otak mereka. Dialah Prawoto Mangkoesasmito, wakil perdana menteri Indonesia ke sembilan, seorang aktifis Islam, ketua umum Masyumi yang terakhir hingga kemudian Masyumi di bubarkan dan Prawoto serta Natsir ditahan oleh tangan besi rezim Soekarno. Ketua organisasi yang memperjuangkan tegaknya asas Islam rahmatan lil’alamin itu selama hidupnya mengabdikan dirinya untuk umatnya, untuk masyarakatnya.

Dalam sebuah tulisan untuk mengenang Prawoto, rekannya di Masyumi, M Roem menyebut sejawatnya itu sebagai 'orang yang selamanya hidup sederhana, orang yang tak pernah meminta, orang yang hanya belajar memberi dan mengasih,' demikian dikutip dari buku M Roem, Bunga Rampai dari Sejarah.

Sebuah cerita tentang kesederhanaan Prawoto dituturkan putrinya Sri Sjamsiar Prawoto Issom seperti dikutip dari buku Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito karangan SU Basajut.

Saat itu menjelang pembubaran Masyumi, Prawoto dan tokoh tokoh partai politik lain Subadio Sastrosatomo dan Sutan Sjahrir dipanggil ke Istana oleh Presiden Soekarno. Malam harinya, Prawoto meminta putrinya untuk menisik (menambal lubang) di kerah baju koko putih miliknya. Keesokan harinya di istana, para undangan lain mengenakan setelan jas, dasi dan bersepatu, tetapi Prawoto hanya mengenakan sarung, baju koko tua, peci dan sandal kulit. Adakah pejabat kita saat ini sedikit saja meniru kesederhanaannya? Ada. Ada-ada saja pertanyaanku ini.

Sayuti Melik?

Satu pahlawan dengan teladan kesederhanaan yang tak bisa dilupakan dalam perjuangan bangsa ini adalah SK Trimurti. Benar, bukan Sayuti Melik, Surastri Karma Trimurti merupakan istri dari Sayuti Melik. Sebelum era kemerdekaan, dia adalah jurnalis dengan pena yang tajam. Tak jarang dia sering keluar masuk bui. Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID). Meskipun kerap bolak-balik masuk penjara dan mengalami siksa sampai harus melahirkan anak pertamanya di balik jeruji besi, tangan Trimurti tidak pernah berhenti menulis.

Trimurti ditawari untuk masuk ke dalam kabinet dan menjadi menteri tenaga kerja pada era 1947-1948. Trimurti saat itu ditawari sebagai menteri oleh Setiajid, salah satu anggota formatur kabinet yang juga rekan separtai. Pertama, ajakan menjadi menteri dijawab spontan, tidak!

Trimurti mengatakan bahwa dirinya belum pernah jadi menteri, sehingga tidak akan mampu. Namu Setiajid juga membalas “Bukankah Soekarno juga belum pernah jadi presiden sebelumnya?”

Setelah semalaman berpikir, dan merenungkan segala konsekuensinya, Trimurti akhirnya menerima tawaran tersebut. Posisi sebagai menteri dijalani Trimurti dengan penuh pengabdian meskipun kondisi bangsa yang semrawut dalam bidang politik dan ekonomi akibat rongrongan Belanda.

Trimurti adalah sosok pejuang yang tidak pernah setuju dengan ungkapan: tujuan menghalalkan setiap sarana (Het doel, heilight de midellen). Sebab kalau begini, orang bisa menyiksa, mengkhianati orang lain, mencelakakan orang lain demi tujuan pribadi atau golongan.

Selama dia menjadi menteri, dia tinggal di rumah kontrakannya bersama suami dan anak-anak tercintanya. Sebuah rumah kecil keluarga pejuang. Kedua pahlawan ini tidak memakai segala fasilitas yang diberikan oleh negara, mereka memilih hidup dalam kesedehanaan. Sebutkan menteri kita saat ini yang ah lupakan.

Mohammad Natsir

Mobil-mobil baru berjejer di rumahnya, Lamborgini, Porce, jas dan jam tangan harga ratusan Juta membalut tubuhnya, semua itu adalah kehidupan seorang Muhammad Natsir? Tentu saja itu kehidupan pejabat kita saat ini. Jika pejabat saat ini lebih banyak memperkaya diri, maka Mohammad Natsir adalah pengecualian. Natsir sederhana dan teguh. Sosoknya menjadi teladan sepanjang zaman. Natsir menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951. Dengan dua jabatan mentereng itu, seharusnya Natsir bisa hidup mewah. Tapi hidupnya jauh dari kaya. Saat itu Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun.

Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim' dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat RI saat ini. Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka. "Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya.

Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi. Rumah itu berada di Jl Jawa, Jakarta Pusat.

Kesederhanaan Natsir tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai, jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri. “Nah ini baru kelihatan menteri betulan” ungkap anak buah Natsir yang mengundang tawa dan membuat trenyuh hati penulis tanpa karya nyata ini.

Bagaimana? Sudah membandingkan dengan pemimpin saat ini? Atau tidak usah jauh-jauh, sudahkah kita sedikit saja meniru kesederhanaan mereka? Alamiah, semuanya berbicara tentang kefokusan, ketika diri kita fokus untuk perbaikan masyarakat maka yang kita dapatkan adalah masyarakat yang lebih baik. Namun memang kita harus mengesampingkan kepentingan pribadi. Lagipula untuk apa kita kaya raya menyimpan puluhan kilogram emas di brankas jika tetangga kita saja susah untuk beli beras, asi sang ibu tidak mengalir, anak-anak kita kurang gizi, si Jana di PHK dan si inem merintih ditindih sang majikan?

Banyak lagi tokoh-tokoh inspiratif penuh kesederhanaan yang selalu berkarya untuk masyarakat namun masih sembunyi dibalik jeruji sejarah, mereka hanya belum terungkap, tapi karya mereka abadi, malaikat dan dunia seisinya mendokan mereka, doa-doanya pun berpilin menjuntai menembus langit dan menjadi kendaraan mereka menuju Jannah-Nya.

 

Klik ini untuk sampah-sampah lain yang setidaknya bisa mengisi otak keruh kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun