Mobil-mobil baru berjejer di rumahnya, Lamborgini, Porce, jas dan jam tangan harga ratusan Juta membalut tubuhnya, semua itu adalah kehidupan seorang Muhammad Natsir? Tentu saja itu kehidupan pejabat kita saat ini. Jika pejabat saat ini lebih banyak memperkaya diri, maka Mohammad Natsir adalah pengecualian. Natsir sederhana dan teguh. Sosoknya menjadi teladan sepanjang zaman. Natsir menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951. Dengan dua jabatan mentereng itu, seharusnya Natsir bisa hidup mewah. Tapi hidupnya jauh dari kaya. Saat itu Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun.
Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim' dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat RI saat ini. Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka. "Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya.
Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi. Rumah itu berada di Jl Jawa, Jakarta Pusat.
Kesederhanaan Natsir tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai, jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri. “Nah ini baru kelihatan menteri betulan” ungkap anak buah Natsir yang mengundang tawa dan membuat trenyuh hati penulis tanpa karya nyata ini.
Bagaimana? Sudah membandingkan dengan pemimpin saat ini? Atau tidak usah jauh-jauh, sudahkah kita sedikit saja meniru kesederhanaan mereka? Alamiah, semuanya berbicara tentang kefokusan, ketika diri kita fokus untuk perbaikan masyarakat maka yang kita dapatkan adalah masyarakat yang lebih baik. Namun memang kita harus mengesampingkan kepentingan pribadi. Lagipula untuk apa kita kaya raya menyimpan puluhan kilogram emas di brankas jika tetangga kita saja susah untuk beli beras, asi sang ibu tidak mengalir, anak-anak kita kurang gizi, si Jana di PHK dan si inem merintih ditindih sang majikan?
Banyak lagi tokoh-tokoh inspiratif penuh kesederhanaan yang selalu berkarya untuk masyarakat namun masih sembunyi dibalik jeruji sejarah, mereka hanya belum terungkap, tapi karya mereka abadi, malaikat dan dunia seisinya mendokan mereka, doa-doanya pun berpilin menjuntai menembus langit dan menjadi kendaraan mereka menuju Jannah-Nya.
Klik ini untuk sampah-sampah lain yang setidaknya bisa mengisi otak keruh kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H