Mohon tunggu...
Erike Ramadhani
Erike Ramadhani Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance and Sosiopreuner

Perempuan sederhana yang gemar merajut diksi, berkelana, mengagumi cantigi, dan mendengar nada indie~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi atau Angka Ikut?

25 Oktober 2019   11:35 Diperbarui: 25 Oktober 2019   11:40 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mahasiswa merupakan komponen penting dari proses pembelajaran dan kehidupan perguruan tinggi. Kualitas dan kuantitas mahasiswa memiliki pengaruh besar terhadap kualitas dan kuantitas kampus itu sendiri. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa mahasiswa adalah seorang yang belajar di perguruan tinggi di dalam strukur pendidikan di Indonesia mahasiswa memegang status pendidikan tertinggi diantara yang lain.

Hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa merupakan golongan manusia yang memiliki pemikiran yang idealis, kritis, dan sistematis. 

Sehingga apabila ditarik kesimpulan, sebagai mahasiswa harus memahami benar peran di masyarakat maupun di lingkup kampus itu sendiri. 

Serta sebagai mahasiswa haruslah menyadari pilihan sikap dalam segala hal termasuk menjadi cerminan jiwa Pancasila sebagai warga negara yang baik.

Perguruan tinggi dan segala aspek didalamnya adalah miniatur negara sehingga menjadi tempat pertama mahasiswa untuk melatih diri menapaki kehidupan bernegara yang sebenarnya. Oleh sebab itu, berbagai macam mahasiswa terbentuk di kampus. 

Mahasiswa dengan kekritisan dan kecerdasan yang dilandasi dengan kejujuran serta kepedulian adalah mahasiswa yang sebenarnya diharapkan pada era saat ini. 

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah membuktikan setiap kekuasaan yang tidak sehat pasti membungkam mahasiswa semacam tadi.

Perguruan tinggi di Indonesia haruslah menjadi perguruan tinggi yang menjunjung tinggi demokrasi sesuai dengan ideologi negara dimana ia bernaung. 

Sehingga hak kebebasan berpendapat yang sesuai dengan kode etik haruslah diberikan kepada setiap warga kampus. Begitupula dengan otoritas, kesewenangan, dan monopoli haruslah dihapus dari kehidupan kampus Indonesia.

Faktanya, hampir seluruh mahasiswa saat ini merupakan mahasiswa yang tidak peduli dan tidak peka terhadap sistem kampus. Kebanyakan dari kita adalah mahasiswa yang cenderung "ya sudahlah" terhadap apapun kebijakan kampus karena memandang IPK dan ijazah adalah Maha Benar Bekal untuk kehidupan selanjutnya. Diantaranya adalah golongan mahasiswa angka ikut.

Mahasiswa angka ikut adalah mahasiswa yang sama sekali tidak peduli atau bahkan tidak mengerti akan pentingnya demokrasi dan kebebasan berpendapat. Mahasiswa semacam ini adalah mahasiswa yang memiliki mental yang mudah sekali diperbudak oleh kapitalisme. 

Suasana kemahasiswaan yang ideal adalah suasana yang penuh dengan gelora dan semangat juang tanpa mengesampingkan permasalahan moral dan tata karma. 

Namun mahasiswa semacam tadi yang memenuhi kampus tak ayal akan menjadikan kampus sebagai cerminan negara yang tunduk pada kekuasaan kapitalisme. Bahkan lebih bahayanya menganggap teori-teori Marhaenisme dan Marxisme adalah hal yang harus dimusnahkan. 

Sedangkan yang harus dilakukan mahasiswa adalah tabbayun, dimana menelan mentah suatu teori bukan merupakan cerminan dari golongan kita.

Pimpinan-pimpinan mahasiswa yang eksistensinya tidak semata untuk memenuhi program kerja dan suruhan petinggi kampus kini jarang sekali ditemukan. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang dapat dibeli dengan kekuasaan. 

Pimpinan mahasiswa yang masih berdiri diatas golongan adalah calon pimpinan negara yang kelak akan bersikap sama dengan dirinya di masa muda. Lalu akan seperti apa negara kita 10 hingga 20 tahun mendatang?

Lantas, masihkah nilai-nilai Pancasila itu hidup diantara mahasiswa era milenia ini?

Ketuhanan Yang Maha Esa, negara Indonesia adalah negara yang akhir-akhir ini disibukkan perihal perbedaan agama. Sedangkan setiap agama sebenarnya mengajarkan kebaikan, lantas bagaimana mahasiswa saat ini menyikapi adalah persoalan besar. 

Kita sering bersengketa karena perbedaan agama, agama sama namun perbedaan mahdzab atau bahkan perbedaan pendapat akan mengkotak-kotakkan perjuangan mahasiswa yang sebenarnya adalah satu tujuan.

Begitupun dengan empat bulir Pancasila lainnya, sudahkah Mahasiswa Indonesia mencerminkan dirinya sebagai manusia Pancasila yang seutuhnya? 

Mahasiswa adalah pondasi negara yang akan turun 10 hingga 20 tahun mendatang mengambil alih estafet kepemimpinan pimpinan bangsa saat ini. Sehingga bagaimana kualitas negara ke depan tergantung pada kualitas mahasiswa saat ini.

Bagaimana jadinya negara ini jika yang memimpin adalah golongan mahasiswa hedonis?

Bagaimana jadinya negara ini jika yang memimpin adalah golongan mahasiswa yang gila akan kekuasaan?

Sudahkah kita renungkan pertanyaan-pertanyaan itu didalam jiwa kita sebagai seorang mahasiswa? Sudahkah hingga hari ini kita sebagai mahasiswa melakukan hal-hal kecil demi perubahan negara yang sudah carut marut ini? 

Yang diperlukan dari mental mahasiswa saat ini adalah kesadaran bahwa ijazah dan IPK memang penting untuk menunjukkan bakti namun keberhasilan mencapai tri dharma perguruan tinggi dalam masyarakat juga komponen yang tidak dapat diremehkan begitu saja.

Mengkritisi sistem dan berpendapat bukanlah hal yang haram untuk dilakukan.Apabila sistem telah baik dan berani transparan lantas mengapa harus takut dengan kritik mahasiswa? 

Dan kepada mahasiswa Indonesia, apabila tidak ingin termakan oleh sistem yang tidak baik lantas mengapa tidak ingin memperbaiki melalui suara-suara yang benar?

Mengutip kalimat Gie dalam bukunya Zaman Peralihan halaman 148, bahwa "..Saya bermimpi bahwa di masa depan, universitas-universitas akan mendapatkan kebebasan mimbarnya kembali. Dan mahasiswa-mahasiswa merasa bahwa kebebasan mimbar adalah suatu yang fundamental bagi hidup mereka dalam kampus. 

Seorang dosen yang Marxis, akan ditantang oleh mahasiswa-mahasiswa dengan literature-literatur yang non bahkan anti Marxisme. Dan seorang dosen yang anti-komunis akan dihujani pertanyaan-pertanyaan bersumber paa buku komunis, yang dibaca oleh mahasiswa dalam perpustakaan universitas. ..."

Bahwa teramat jelas, mempelajari suatu ideologi bukan berarti untuk menjadi sama dengan ideology tersebut. Begitu pula dengan mahasiswa, mengkaji sistem dan berpendapat bukan berarti untuk menjadi pembangkang kampus namun untuk menjadikan kampus sebagai cerminan negara di masa sekarang maupun masa depan.

Lantas, sudah siapkah kita, wahai mahasiswa?

Tetap bertahan dan tumbuh suara-suara kebenaran. Tetap semangat dalam mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebenarnya dengan tujuan menjadi manusia Indonesia berlandas Pancasila seutuhnya.

Panjang umur, perjuangan !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun