Mohon tunggu...
Ramadhan Dwi Prasetyo
Ramadhan Dwi Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - Anggota Asosiasi Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia

Menulislah, karena dengan menulis suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menimbang Ulang Pendidikan Indonesia: Memperuncing Pikiran atau Memperuncing Cicilan

5 Mei 2024   18:00 Diperbarui: 5 Mei 2024   18:05 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : detikjabar(Bima Bagaskara)

Neraka bagi Mahasiswa

Hari Pendidikan Nasional selalu menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk menilai kondisi pendidikan Indonesia. Setelah lebih dari 79 tahun Indonesia merdeka, pertanyaan besar muncul: ke mana arah pendidikan kita? 

Bukti konkret mengenai kondisi pendidikan saat ini dapat kita lihat dari berbagai indikator, termasuk laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Indonesia berada di peringkat ke-6 di antara negara ASEAN dalam bidang pendidikan. 

Peringkat ini mengundang kekhawatiran dan mendorong kita untuk bertanya: apakah pendidikan kita sudah mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia?

Di tengah keterbatasan sumber daya, tantangan semakin berat bagi mahasiswa. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang drastis telah memicu protes di beberapa universitas. 

Pada saat yang sama, beban biaya kuliah yang tinggi mendorong banyak mahasiswa untuk mencari bantuan dari pinjaman online dengan bunga yang mencekik. Ini adalah contoh nyata dari paradoks pendidikan yang kita hadapi hari ini. Bukankah pendidikan seharusnya membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik, bukan mengarahkan mahasiswa ke jalan utang yang tak berujung?

Ironisnya, anggaran pendidikan Indonesia sebenarnya sudah diatur dalam konstitusi. UUD 1945 Pasal 31 mengamanatkan negara untuk memprioritaskan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pendidikan. 

Dengan anggaran yang signifikan ini, seharusnya beban biaya pendidikan tidak menjadi masalah. Namun kenyataannya, banyak mahasiswa masih menghadapi biaya kuliah yang tinggi dan sulit dijangkau. 

Lantas, ke mana anggaran pendidikan yang besar itu mengalir jika mahasiswa masih harus berjuang keras untuk membayar kuliah?

Sumber : Binus University
Sumber : Binus University

Perubahan Ideologi Pendidikan Indonesia

Jika kita menengok kembali cita-cita pendidikan Indonesia, ada perasaan bahwa kita telah menyimpang dari jalur yang diharapkan para pendiri bangsa. Mengutip kata bijak salah satu pendiri bangsa yaitu Tan Malaka bahwasanya 

"Tujuan Pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan"

Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk memperuncing pikiran, mengembangkan kreativitas, dan mendorong inovasi. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat, tidak mampu mencapai jantung masyarakat. Akibatnya, hasil riset ini tidak memberikan dampak nyata dalam hal kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. 

Pendidikan yang semestinya memupuk jiwa kewirausahaan dan semangat nasionalisme justru lebih sering diorientasikan pada industri dan pasar kerja, yang cenderung menciptakan kompetisi yang keras tanpa memberikan nilai tambah bagi masyarakat luas.

Penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat, sering kali hanya menjadi koleksi di lorong-lorong perpustakaan, mengumpulkan debu tanpa memberikan dampak nyata. 

Terlalu banyak riset yang dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan akademik dan mengejar kenaikan jabatan bagi dosen, tanpa berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 

Penelitian ini, yang seharusnya bisa menjadi katalisator perubahan dan kemajuan, malah menjadi simbol dari sistem pendidikan yang kurang relevan dan hanya melayani kepentingan akademisi itu sendiri.

Selain itu, kita juga menghadapi fenomena "Belajar Merdeka" dalam implementasi kurikulum "Merdeka Belajar" yang diinisiasi oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. 

Kurikulum ini seharusnya memberikan kebebasan bagi mahasiswa dan dosen untuk mengeksplorasi metode pembelajaran yang lebih fleksibel dan kreatif. Namun, dalam praktiknya, banyak dosen dan perguruan tinggi merasa bingung dan tidak mendapatkan panduan yang jelas. 

Akibatnya, muncul perasaan "Belajar Merdeka," di mana kebebasan yang seharusnya membawa perubahan positif justru menimbulkan ketidakpastian dan beban yang lebih besar.

Solusi Konkret untuk Pemerintah

Bagaimana kita bisa mengubah arah pendidikan Indonesia agar kembali ke jalur yang benar sesuai yang dicita-citakan para pendiri bangsa? Beberapa solusi konkret dapat diusulkan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut.

1. Transparansi Anggaran Pendidikan 

Dengan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN dan APBD, masyarakat berhak mengetahui ke mana dana ini dialokasikan. Pemerintah harus meningkatkan transparansi dalam penggunaan anggaran pendidikan dan memastikan bahwa dana tersebut digunakan untuk kepentingan siswa dan mahasiswa.

2. Revitalisasi Riset yang Berdampak pada Masyarakat

Pemerintah harus memberikan insentif dan dukungan kepada universitas dan lembaga penelitian untuk menghasilkan riset yang berdampak nyata bagi masyarakat. 

Ini berarti lebih dari sekadar persyaratan akademik; riset harus menjadi instrumen perubahan yang nyata dan memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekadar memenuhi lorong-lorong perpustakaan.

3. Membuat Pendidikan Lebih Terjangkau 

UKT yang tinggi telah menjadi hambatan bagi banyak mahasiswa. Pemerintah perlu memperluas program beasiswa dan bantuan keuangan bagi mahasiswa yang kurang mampu. Selain itu, regulasi terhadap pinjaman online harus diperketat untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan mahasiswa.

4. Peninjauan Ulang Kurikulum "Merdeka Belajar" 

Kurikulum "Merdeka Belajar" perlu ditinjau ulang agar sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu memberikan kebebasan belajar yang bermakna. Pemerintah harus memberikan panduan dan pelatihan yang jelas kepada guru dan sekolah agar mereka memiliki kejelasan dalam menjalankan kurikulum ini. Evaluasi harus dilakukan secara berkala untuk memastikan bahwa implementasi kurikulum berjalan dengan lancar dan efektif.

Kurikulum pendidikan harus didesain untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi, bukan hanya sekadar memenuhi tuntutan pasar kerja. Dengan demikian, mahasiswa dapat lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Pada akhirnya, pendidikan Indonesia harus kembali pada tujuannya yang mulia: menciptakan generasi yang cerdas, kreatif, dan berjiwa nasionalis. Hari Pendidikan Nasional adalah waktu yang tepat untuk memulai perubahan ini, agar kita bisa memperuncing pikiran, bukan memperuncing cicilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun