Aku terkekeh. "Menyebalkan. kau.. kau sungguh yang terburuk, Suf." Aku menyikutnya, memalingkan wajahku.
"Tidak ada yang menyebalkan selama aku masih bisa menghabiskan makananmu." Yusuf terkekeh diujung. Membuatku makin kesal padanya. Terlebih lagi air mataku mulai menetes satu demi satu.
"Jangan malu. Ini, pakailah."
Tanpa melihat, aku mengambil apa yang disodorkan Yusuf. Pasti sapu tangan. Ya, tentu saja sapu tangan. Benda yang selalu dibawanya ke mana-mana. "Ceritalah kalau sudah tenang." Ujarnya.
"Kau tahu, Suf."
"Tahu apa?"
Aku menoleh padanya, tanpa pikir panjang, dengan mata sembab dan ingus yang meleri ke mana-mana.
"Jangan bohong Kau pasti tahu!" seruku sambil menyamarkan tangisanku.
"Iya. Aku tahu. Tapi tolong bersihkan dulu ingus yang bergelantungan di hidungmu itu." aku reflek menutupi hidungku dengan sapu tangan. Yusuf tersenyum. Aku merasa malu.
Butuh waktu lima menit bagiku untuk membersihkan ingusku. Sialan. Kalau bukan karena udara dingin ini. keluhku.
"Yusuf, ibuku.. dia.. tertang.. dia.." aku gagal menyelesaikan kalimatku. Semua gara-gara air mataku menetes lagi. "Dia.. dia.. ukh.." aku tersedu kembali. Kini air mataku mengalir lebih deras.