"Sini, duduk dulu." Tangan ibu meraihku. Menarikku untuk duduk. "Ingat apa kata ibu dulu, kalau kamu malas belajar?"
Aku terdiam sejenak untuk berpikir.
"Jangan main terus nanti kamu jadi anak bodoh?"
Ibu menggeleng. "Bukan. Tapi belajar yang rajin, supaya besar nanti jadi seperti Pak Habibie."
Aku mengangguk-angguk. Tanda setuju.
"Kamu anak yang cerdas, Faris. Kamu dulu sering bermain, sampai kabur dari rumah hanya untuk begadang main ps di rumah tetangga. Ibu masih ingat harus menjewer telingamu untuk pulang ke rumah." Ibu terkekeh. "Tapi kecerdasanmu tidak main-main." Kali ini dia tersenyum, sambil mengusap kepalaku.
"Jangan pernah menyerah, teruslah mencoba. Jatuh, bangkit lagi, jatuh lagi, bangkit lagi dan terbang lebih tinggi!" seru ibu dengan semangat.
Aku menatap wajah ibu. Walaupun guratan keriputnya mulai melebar, ibu tetaplah ibu. Yang selalu menyemangatiku dikala gagal dan terpuruk. Walau dia sendiri sedang sakit, tapi kasih sayangnya tidak pernah berhenti sekalipun.
"Baiklah, kalau itu yang ibu mau---"
"Tidak, bukan ibu yang mau. Tapi kamu yang mau."
Aku tersentak selama beberapa detik. Lalu tidak lama kemudian tersenyum. "Baik, aku izin dulu bu. Ada urusan yang harus diselesaikan."