"Apakah kau iri dengan rezeki yang ia peroleh, Hikam?"
Aku menggeleng kuat, "Hikam hanya...mm...kasihan ikannya. Kasihan laut kita, Abah. Pasti banyak yang rusak kalau menangkapnya dengan cara kasar begitu. Kasihan Bang Togar juga menjemput rezekinya dengan cara yang tidak halal. Orang lain yang tidak peduli dengan laut kita akan meniru cara Bang Togar. Sekali dua kali sih tidak masalah, tapi hidup kita terlalu mengandalkan laut, Abah. Hikam takut laut kita rusak dan tidak dapat memenuhi kebutuhan kita lagi."
Abah tertawa kecil, "Tapi jangan lupa, masih banyak nelayan yang jujur, yang mau bersabar menjemput rezekinya dengan cara halal."
Kemudian, abah berjalan mendahuluiku menuju pedagang pasar yang sudah melambai-lambai menantikan hasil tangkapan.
Pikiranku berkecamuk. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kalau hari ini hanya Bang Togar yang curang, besok tidak ada yang meniru.
Ketika kebutuhan hidup meningkat, akan ada nelayan lain yang memilih jalan seperti bang Togar. Dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.
Tawar-menawar antara pedagang pasar dan abah berlangsung cepat. Abah menerima beberapa lembar uang limapuluh ribuan setelah terjadi kesepakatan.
Inilah saat yang paling ditunggu. Abah memberikan separuh uang yang beliau peroleh padaku,
"Untuk membayar uang sekolah." ujar abah.
"Abah, apakah Hikam harus sekolah setinggi-tingginya?" tanyaku. Aku tidak berani menatap abah. Kakiku menyaruk-nyaruk pecahan kerang di atas pasir.
"Tentu saja! Kalau perlu, merantaulah yang jauh agar ketika kau pulang, Hikam, alih-alih menjadi pegawai pemerintah, kau bisa menjadi orang besar!" ujar abah berapi-api.