"Abah, Hikam ingin menjadi nelayan, meneruskan Abah." ujarku lirih. Abah tersentak.
"Apa yang bisa kau banggakan dari seorang nelayan, Hikam? Jika diberi pilihan, abahmu akan memilih tinggal di kota, menjadi kuli atau pedagang ketimbang nelayan. Kau tau, sekalipun laut kita kaya, namun perjuangan untuk mendapatkannya bertaruh nyawa! Kau tidak tau bahaya apa yang sedang menunggu di tengah laut sana, angin apa yang akan menghempaskan perahumu, atau makhluk laut seperti apa yang akan merusak kapalmu!" Abah menjelaskan dengan nada tinggi.
"Laut terlalu berbahaya untukmu, Hikam." nada bicaranya merendah. Tanpa menoleh sedikit pun, abah berjalan meninggalkanku.
ombak di laut lepas, dan berbagai macam hal tidak terduga lainnya?" tanya abah meyakinkan.
"Insya Allah tidak, Abah. Hikam akan berusaha menjadi manusia yang bermanfaat dengan cara ini. Hikam akan belajar lebih giat lagi untuk membawa pengetahuan baru bagi warga pesisir Kalongan. Semoga dengan pilihan Hikam meneruskan pekerjaan abah, tidak ada bang Togar lain di kampung ini."
Abah memelukku erat, "Abah bangga padamu, Hikam."
"Abah, maaf kalau Hikam membuat abah kecewa." aku menatap abah dalam-dalam, "Tidak semua air harus menjadi hujan, kan, Abah? Ada yang langsung dimanfaatkan, ada yang terserap ke tanah, ada pula yang terbuang. Barangkali Hikam tidak menjadi hujan, seperti kebanyakan, tapi Hikam akan berusaha seperti air yang dapat langsung dimanfaatkan. Bukan air yang terbuang."
"Selamat memperjuangkan laut kita, Hikam. Berlayarlah. Abah mengijinkanmu," abah menutup pembicaraan sambil menyerahkan radio tuanya, "Untuk teman melaut."
"Hikam siap berlayar siang-malam, Abah!" ujarku menirukan gerakan hormat.
Dan sore itu suasana menjadi syahdu. Tekadku semakin kuat untuk belajar lebih giat.
Ada perahu-perahu yang hanya mengandalkan lautan untuk mencari rezeki, tapi ada hal yang lebih penting: ada masa depan lautan yang harus diperjuangkan.