Sudah 26 tahun reformasi yang telah melahirkan demokrasi di Indonesia, demokrasi yang sudah lama dinanti-nanti akhirnya hadir. Sebagai sebuah bangsa kita sudah seharusnya mensyukuri bahwa kita sudah hampir menikmati semua kelengkapan demokrasi yang kita rasakan sebagai manusia modern secara sempurna, misalnya terkait kebebasan pers, kebebasan berpartai, pemilu yang kompetitif dan sebagainya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak aspek yang masih tertinggal dari sektor hak-hak sipil dan politik adalah terkait penegakan HAM, reformasi birokrasi, dan reformasi kepartaian. Seandainya hal-hal tersebut sudah terselesaikan maka kita bisa berbangga diri menjadi yang hampir pasti sempurna secara negara dan rakyatnya.
Sebagai buah dari produk demokrasi yang telah lahir 26 tahun yang lalu maka dalam waktu dekat ini kita bakal menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang bakal dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang ini.
Pada pesta demokrasi yang akan datang ini kita bakal memilih para pemimpin di daerah kita masing-masing yang bakal diberikan kepercayaan dari konstituennya agar berusaha untuk mencapai ultimate goal dari tujuan kita bernegara: kesejahteraan dan keadilan sosial di daerahnya masing-masing.
Para politisi yang bakal terpilih ini bakal mendapatkan posisi mulia karena bakal mendapatkan jabatan politis sebagai kepala daerah dan bakal punya dampak langsung ke daerahnya dengan kebijakan maupun program-program yang mereka gagas untuk rakyatnya. Kebijakan maupun program yang buruk tentu saja bakal memberikan dampak buruk pada rakyat di daerahnya dan kebijakan dan program yang baik tentu saja juga bakal berdampak baik juga pada rakyatnya.
Namun memilih pemimpin yang baik juga perlu analisa dan kebijaksanaan dalam menentukan siapa calon yang bakal dipilih. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh tingkat melek politik rakyat yang mempunyai hak suara untuk memilih.
Kandang kala, seorang pemimpin buruk bakal lahir dari rakyat yang melek politiknya rendah sehingga ada istilah, "Pemimpin adalah cerminan dari tingkat melek politik rakyatnya."
Dengan sistem sistem demokrasi mengedepankan rakyat sebagai sumber mata air kedaulatan, tempat dari mana sumber kekuasaan formil dan efektif oleh para pemimpin itu berasal. Yang mau saya tegaskan adalah tentang posisi mulia dan luhur dari rakyat sebagai pendiri sesungguhnya dari Republik ini.
Dengan sistem demikian maka kita sebagai rakyat jangan mau menerima transaksi politik dengan uang tetapi harus diubah menjadi transaksi dengan program yang bermanfaat bagi semuanya.
Politik bukan hanya milik birokrat atau politisi. Bukan pula milik Presiden atau kepala daerah. Politik adalah kita semua yang berada dalam suatu negara. Mau tidak mau, kita menjadi praktisi di dalamnya baik sebagai pengamat maupun sebagai pelaku.