Bukan hanya adikku. Sekali waktu ibu juga pernah memarahiku. Gara-gara aku mengulur waktu ketika beliau menyuruhku pergi ke warung untuk membeli bumbu masakan.
“Kamu kalau enggak nurut sama Ibu, mending ikut Bapakmu! Disuruh orang tua susahnya minta ampun!”, ucap ibu.
Bapak sudah berulang kali menjelaskan pada istrinya perihal hubungan beliau dengan Mbak Sari semata-mata hanya rekan kerja. Antara atasan dengan bawahan. Itu saja. Tak ada hubungan khusus yang terjalin di antara mereka berdua. Apalagi hubungan gelap. Seperti apa yang ada dalam bayangan buruk ibu.
Begitu pula sebaliknya dengan ibu. Bagaimana beliau tidak murka dan cemburu setelah menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, memergoki kelakuan suaminya di media sosial yang menggoda perempuan lain yang notabene perempuan tersebut adalah perempuan idaman bagi semua kalangan pria. Walaupun sebatas sendau gurau di media sosial. Mana ada wanita yang percaya begitu saja?
Kecurigaan ibu semakin bertambah selepas beliau mengetahui bahwa Mbak Sari adalah sekretaris bapak di kantor.
Aku tak berpihak pada ibu atau pun bapak. Aku tidak berada dipihak mana pun. Aku hanya berpihak pada diriku sendiri saat ini. Seorang anak laki-laki yang sumpek tatkala melihat kedua orang tuanya tidak akur.
“Bapak mana, Bu?”, tanyaku mendapati beliau di dapur membersihan pecahan beling yang berserak.
“Minggat!”, jawab beliau ketus. Aku tahu beliau bohong.
Sesudah mencuci muka. Aku kembali menyalakan laptop di kamar. Melanjutkan draft tulisan yang belum selesai. Sekilas, kulirik bocah masa bodoh itu masih duduk selonjor di sofa sambil mengutak-atik gim di handphone.
Belum sampai satu paragraf penuh. Datang seorang tamu sembari mengetuk pintu rumah. Adikku bangkit dari sofa. Sayup-sayup dari dalam kudengar tamu itu mencari keberadaan seseorang di rumah ini. Persis dari arah dapur kudengar suara ibu bertanya.
“Cari siapa?”
Sekeluar kamar, segera kusaksikan seorang perempuan muda anggun dan cantik serta mengenakan setelan rapi dengan rok selutut dan memakai sepatu High Heels itu.