Ternyata, dugaanku benar. Sebuah porselen yang terpajang di bufet. Ditangan beliau dalam tiga detik berselang, hancur dan berceceran di lantai. Sasaran berikutnya adalah perabotan lain seperti radio, dvd player, remote tv, salon, kipas angin, jam dinding dan menyusul peralatan dapur.
Dengan berdiri mematung sambil merangkul telivisi. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Gim Playstation milikku juga hampir saja menjadi korban keganasan beliau. Namun urung beliau hempaskan barang itu ke lantai, setelah menyadari bahwa barang tersebut adalah milikku.
Tengah malam adikku baru pulang. Dari mana saja bocah sialan satu ini. Di kamar, aku masih belum tidur saat kulihat derit pintu kamar terbuka. Sesaat kami bersitatap. Sebelum akhirnya, tanpa berkata apa-apa, bocah itu menutup pintu kembali.
Tak lama, kudengar langkah bocah itu menginjak serpihan macam benda di lantai dengan menggeret barang berat. Dengan tubuh yang ringkih itu. Ia agak kesulitan menggulingkan kembali sofa-sofa yang menggeletak dan terbalik di ruang tamu. Karena bapak memutuskan malam ini  tidur di kamarku. Jadi, mau tak mau, bocah itu terpaksa tidur di sofa.
Usai aksi vandalisme yang dilakukan bapak tempo lalu, ternyata membuat tenaga dan energi beliau habis terkuras. Dengan posisi tidur telentang dan mendengkur disebelahku. Lamat-lamat kupandangi wajah beliau yang kecapaian itu.
Aku beringsut dari tempat tidur dan menyalakan laptop. Ada pekerjaan yang harus kutuntaskan. Sementara, jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Suara-suara dikepalaku mulai bermunculan.
Dalam sunyi suasana, sepintas, samar-samar kudengar lirih suara teriakan-teriakan dari dalam rumah. Bantingan-bantingan perabotan barang di lantai. Wajah-wajah garang ibu dan bapak. Lantas, teringat adikku dan kini diriku, yang kerapkali diam dan tak berbuat sesuatu, ketika menyaksikan prahara itu terjadi.
Aku berusaha tenang. Dibalik ketenangan yang kurasakan, tersembunyi keguncangan dalam jiwaku. Ada apa gerangan?
Aku masih menatap layar laptop dihadapanku. Kursor pada layar monitor putih itu pula masih berkedip-kedip. Sungguh. Aku tak mampu berpikir secara jernih. Dan terlalu lama menatap layar monitor membuat mata ini pedas.
Sekelebat pandangan mataku kabur. Kepalaku mendadak pening. Diikuti nyeri pada tengkuk menjalar sampai terasa ke tulang punggung. Sia-sia menulis di tengah kebuntuan, pikirku. Akan tetapi, apakah aku memang benar-benar sedang buntu? Atau mungkin, aku terserang depresi?
Lekas-lekas aku menyudahinya dan bangkit menuju tempat tidur lantas berbaring. Kali ini, kupaksa mataku untuk terpejam. Dan kubiarkan ide-ide berkejaran di kepala.