Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

3 Alasan Kenapa Pesawat Serang Ringan Perlu Diproduksi PT Dirgantara Indonesia (PTDI)

15 April 2020   22:04 Diperbarui: 15 April 2020   22:51 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi : OV 10 Bronco milik militer Jerman I Sumber Foto : Wikipedia

Dalam 2 (dua) dekade kebelakang Industri Pertahanan Indonesia mulai berkembang. Sudah banyak Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) yang telah dikembangkan bahkan diproduksi dan dijual ke negara lain. Beberapa diantaranya CN-235 versi militer, Panser Anoa 6x6, Varian Senapan Serbu Pindad dan amunisi nya, Small Patrol Craft 'Sea Rider', SSV-LPD, dll.

Hal ini menunjukkan bahwa Industri Pertahanan Indonesia mampu menembus pasar luar negeri. Beberapa negara tetangga di Asia dan Afrika dalam beberapa tahun kebelakang mengimpor alutsista RI tanda kepercayaan produk Indonesia. 

Kementerian Pertahanan RI pada 22 November 2018, melalui komentar Laksda TNI Agus Setyadi, Kepala Badan Sarana Pertahanan menyatakan industri pertahanan RI telah berhasil mengekspor senilai $ 284,1 juta antara tahun 2015-2018. Hasil penjualan tersebut berasal dari 4 perusahaan, yakni PT.Pindad, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT PAL dan PT Lundin. 

"Jangan belanja, tapi investasi. Anggaran (pertahanan) kita akan pakai buat membangun industri alutsista," tegas Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang program dan kegiatan bidang politik, hukum dan keamanan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Saat ini perkembangan Industri Pertahanan Indonesia telah menyentuh semua matra baik Darat, Laut dan Udara. Namun yang cukup mengagetkan dibandingkan dengan matra lainnya (Darat dan Laut) sepertinya matra udara berusaha melakukan loncatan teknologi militer kelas berat. 

Saat ini Korsel dan Indonesia sedang memproses proyek bersama pembangunan dan produksi bersama pesawat tempur kelas berat generasi 4.5 yang dinamai proyek Korean Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX). 

Pesawat generasi 4.5 merupakan pesawat tempur tercanggih hanya saja belum memiliki kemampuan stealth (siluman) seperti F.22 Raptor, F.35 dan Sukhoi 57. Namun pesawat generasi 4.5 masih memiliki daya jelajah, kecepatan, perang elektronik, radar, dan jenis dan jumlah muat persenjataan yang mempuni diantaranya Sukhoi Su-35 super flanker dan F-16 versi terbaru (Viper) yang akan dibeli Indonesia.

Apakah yang dilakukan Indonesia dengan loncatan langsung mengembangkan pesawat tempur kelas berat sudah tepat ? jika tujuannya adalah ekspor. Mungkin kerjasama ini lebih kepada mendapatkan alih tekhnologi.  

Ada 3 Alasan, sebaiknya Indonesia mengembangkan pesawat serang ringan yang diproduksi PTDI, bila bertujuan ekspor.

..

1. Belum Banyak Pesawat Serang Ringan Sukses Menggantikan OV-10 Bronco

OV-10 Bronco dengan julukan si kampret oleh TNI AU merupakan pesawat serang ringan yang legendaris. OV-10 Bronco adalah sebuah pesawat serang ringan berbaling-baling bermesin turboprop ganda sayap tinggi (high wing) buatan North American Rockwell sebagai pesawat serang ringan dan pesawat angkut ringan. 

Pesawat bermesin turboprop ini dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai pesawat khusus untuk pertempuran COIN (COunter-INsurgency) atau anti-gerilya. OV-10 Bronco mampu terbang pada kecepatan sekitar 560 km/jam, memuat bahan peledak eksternal seberat 3 ton, dan mampu terbang tanpa henti selama 3 jam atau lebih. 

Deskripsi : OV 10 Bronco milik militer Jerman I Sumber Foto : Wikipedia
Deskripsi : OV 10 Bronco milik militer Jerman I Sumber Foto : Wikipedia
Si Kampret digunakan oleh Indonesia (pensiun), Amerika Serikat (pensiun), Jerman (pensiun), Thailand (pensiun), Filipina, Kolombia (pensiun), Maroko (Pensiun), dan Venezuela (pensiun).

Pesawat serang ringan ini begitu diminati oleh negara berkembang karena kemampuannya dalam mengemban berbagai misi, memuat berbagai macam senjata dan kargo, area pandang pilot yang luas, kemampuan terbang dan mendarat di landasan yang pendek, biaya operasi yang murah dan kemudahan dalam perawatan. Dalam banyak kejadian, pesawat ini mampu terbang baik hanya dengan menggunakan satu mesin. 

Saat ini pengganti peran Si Kampret dimana TNI AU memilih pesawat Super Tucano buatan Embraer Brazil. Pesawat ini telah dioperasikan oleh beberapa negara di Amerika Latin, a.l. Brasil, Colombia, Guatemala dan Republik Dominika. Selain negara-negara tersebut, sebuah pesawat ini juga digunakan oleh perusahaan militer swasta dari Amerika Serikat, Blackwater.

Deskripsi : Pesawat serang ringan Super Tucano I Sumber Foto : militermiliter.com
Deskripsi : Pesawat serang ringan Super Tucano I Sumber Foto : militermiliter.com
Sebagaimana halnya OV-10 Bronco, Super Tucano juga didesain untuk serangan udara ringan, anti-gerilya, pesawat latih dan patroli perbatasan dengan sistem senjata dan avionik yang lebih canggih. 

Bila menilik pengganti OV-Branco pesawat sebanding dalam peran, konfigurasi, dan era yakni Convair Model 48 Charger, FMA IA 58 Pucar, OV-1 Mohawk, Soko J-20 Kraguj, Embraer EMB 314 Super Tucano dan Mwari (Bronco II). Tapi sepertinya baru Super Tocano yang berjaya merebut pasar pesawat serang ringan kelas OV-10 Bronco. 

Dikutip dari situs MaxDefense Philippines, Filipina akan mengadakan keenam Super Tucano buatan Brasil menggantikan OV-10 Bronco. Hal ini sekaligus menjadikan PAF sebagai negara ke-16 yang mengoperasikan Super Tucano dan negara ke-2 di kawasan ASEAN setelah Indonesia.

..

2. Ancaman Negara-Negara ASEAN, Afrika dan Berkembang Lebih Membutuhkan Pesawat Serang Ringan

Pada pertemuan Bali Concord II di Denpasar tahun 2003, kajian terhadap ancaman yang harus dihadapi negara-negara ASEAN di tahun 2020 mengemukakan bahwa ancaman keamanan yang akan dihadapi oleh ASEAN di tahun 2020 diantaranya; 1) The revival of religious extremism; 2) Ethno--religious conflicts and separatism; 3) Regional terrorism; dan 4) Problem trans-nasional.

Empat ancaman tersebut memang demikian yang terjadi, baik di negeri kita, begitupun juga di Filipina, Malaysia, negara ASEAN yang lain bahkan Afrika dan negara dunia ketiga lainnya.

Bila melihat ancaman ini, tampaknya lebih strategis jika Indonesia mengembangkan pesawat serang ringan yang memiliki kemampuan ground attack , maritme patrol dan counter--insurgency bermesin turboprop ketimbang jet tempur generasi 4.5 yang bisa jadi hanya Indonesia dan Korea Selatan yang menggunakan. 

Bisakah jet tempur generasi 4.5 KFX/IFX kerjasama Korsel dan Indonesia dijual bersaing dengan jet tempur buatan Paman Sam, Rusia dan konsorsium Eropa !!

Ancaman terorisme, penyelundupan, pemberontakan yang sudah tidak lagi hanya analisa tetapi sudah nyata seperti KKB di Papua, hal itu menjadi ancaman bersama ASEAN. 

Artinya dalam pengembangan pesawat serang ringan akan ada peluang, karena ada ancaman dan ada potensi ekspor. Filipina misalkan, ancamannya cukup lengkap, yakni religious conflicts, extrimism, insurgensi, dan kartel narkoba, semua ada di sana. Musuh negara-negara dunia ketiga tidak seperti konflik di Timur Tengah dimana musuh memiliki senjata anti pesawat terbang yang kemungkinan disokong negara besar pesaing.

Bila kita melihat bagaimana T-50 Golden Eagle memegang peran penting dalam kemenangan militer Filipina terhadap gerombolan Isnilon Hapilon di Marawi. Namun, T-50 Golden Eagle ini bagi Duterte dianggap terlalu mahal dalam biaya operasional karena merupakan jet tempur. 

Pesawat serang ringan memiliki kelebihan biaya operasional tidak sebesar jet tempur. Selain biaya operasi tidak tinggi, pesawat serang ringan pun untuk biaya perawatan murah dan bisa mendarat di landasan pacu sederhana. 

Dengan kecepatan terbang yang rendah, pesawat tempur ringan sangat cocok digunakan sebagai pesawat serang darat, dukungan dari udara untuk pasukan darat, dan pemantau gerakan musuh. Kelebihan lainnya pesawat tempur ringan lebih banyak membawa amunisi dibandingkan helikopter.

Jika Indonesia mampu mengembangkan pesawat serang ringan bermesin turboprop dengan harga yang lebih murah dari Super Tucano, Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup bagus di ASEAN. Lagipula, Super Tucano masih belum memiliki kompetitor yang sebanding di ASEAN. Patut diketahui Indonesia berpengalaman dalam menjual CN-235 ke negara sahabat ASEAN, Afrika dan negara dunia ketiga.

..

3. Kesiapan Indiustri Pertahanan Udara Sudah Siap

Kesiapan teknologi industri Pertahanan Indonesia terlihat sudah sangat siap. Kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dengan PT Nusanatara Turbin & Propulsi sudah dapat menghasilkan produk yang dipercaya konsumen. Bagaimana PTDI sudah mampu membuat pesawat turboprof seperti CN 235 Maritime Patrol (MPA), CN-235 Gunship, NC 212 dan beberapa helikopter versi militer dengan lisensi.

Deskripsi : CN-235 Maritime Patrol I Sumber Foto : TNI AU
Deskripsi : CN-235 Maritime Patrol I Sumber Foto : TNI AU
Pembuatan pesawat serang ringan bermesin turboprop ini merupakan wujud kemandirian pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan yang paling potensial bisa dipenuhi. Seperti halnya drone tempur 'Elang Hitam' yang telah masuk tahap prototype yang menggunakan mesin baling-baling, pesawat tempur ringan sepertinya dapat dibuat oleh Indonesia. 

Ditambah pengalaman PT Nusanatara Turbin & Propulsi sebagai pusat unggulan di dalam bidang rekayasa, perawatan, perbaikan dan overhaul sistem turbin gas dan rotating equipment terkemuka di Asia Tenggara, serta telah mengantongi beragam manufacture license, baik dari Rolls Royce maupun General Electric, mustahil rasanya pesawat ground attack bermesin turboprop tidak dapat dikembangkan 100% di Indonesia. 

Bila menilik dari alutsista yang laku dijual oleh Indonesia ke negara lain lebih pada alutsista milter kelas ringan-menengah belum masuk ranah kelas berat seperti jet tempur generasi 4.5, Main Battle Tank, Rudal Jelajah, Sistem Pertahanan Udara dengan rudal, kapal perang distroyer, kapal induk, dll. 

Indonesia tidak seperti Iran, Suriah, Israel, Korea Utara yang memiliki ancaman diserang negara lain. Negara kita memiliki ancaman yang memang membutuhkan pesawat tempur ringan untuk operasi perbatasan, mengatasi penyelundupan, terorisme dan separatis / anti gerilya.

--

Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I web I Email : mastiyan@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun