Mohon tunggu...
Rakha Nurfauzi Abdillah
Rakha Nurfauzi Abdillah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Untirta

Satu gagasan terlalu banyak untuk tidak diterjemahkan ke dalam sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Potret Busuk Penguasa Lebak di Masa Lalu dalam Novel "Max Havelaar"

15 April 2024   14:05 Diperbarui: 15 April 2024   14:06 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebusukan para penguasa lokal di kabupaten Lebak tergambar dengan sangat jelas dalam Max Havelaar. Multatuli memamerkannya dengan sangat fulgar. Berikut beberapa kutipan yang menggambarkan kebusukan para penguasa lokal dalam novel Max Havelaar:

  • "Lagi pula, Verbrugge, orang-orang di Lebak menyalahgunakan kekuasaan mereka dengan cara yang mengerikan."
  • "Bupati memaksa penduduk untuk bekerja di sawahnya tanpa bayaran."
  • "Akan kukatakan kepadamu: semua laporan itu palsu! Karena orang yang harus bekerja untuk Bupati jumlahnya tiga kali lipat daripada jumlah yang diizinkan dalam peraturan mengenai hal semacam itu, dan mereka tidak berani menyebut ini dalam semua laporan itu."
  • "Banyak anggota keluarga dan pelayan pejabat pribumi yang muncul dalam daftar gaji, padahal mereka sama sekali tidak ikut serta dalam penanaman padi. Jadi, mereka memperoleh keuntungan dengan mengorbankan orang-orang yang benar-benar bekerja. Mereka juga memiliki  sawah-sawah secara tidak sah, padahal sawah-sawah itu hanya boleh dimiliki oleh orang-orang yang ikut menanam."
  • "Demang Parang Kujang adalah menantu laki-lakinya... Tapi, bukan Demang itu saja yang mengambil hati Bupati dengan memeras uang serta barang dari penduduk miskin,..."

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, dapat terlihat jelas betapa busuknya mental korup para pejabat pribumi. Memalsukan laporan administratif. Kroni-kroni pejabat pribumi bahkan menggunakan kedekatannya dengan bupati untuk meraup keuntungan.

Dinasti politik juga tergambar oleh beberapa kutipan di atas. Jabatan rendahan pribumi diisi oleh keluarga atau kerabat dari sang bupati.

Pemerintahan pribumi, dalam hal ini Bupati memang dibutuhkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai perantara antara pemerintah kolonial Belanda dengan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mencari seseorang yang bisa dijadikan boneka.

Bupati Lebak pada saat itu, Raden Adipati Karta Natanegara menjalankan perannya sebagai boneka dengan baik. Dia tunduk pada pemerintah kolonial Belanda. Dia ikut memeras rakyatnya. Mengeksploitasi lahan pertanian milik rakyat.

Multatuli mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kesewenang-wenangan Karta Natanegara setibanya di Lebak. Multatuli kemudian melaporkan hal tersebut kepada pemerintahan pusat melalui surat rahasia yang dikirimkannya. Akan tetapi, laporan tersebut tidak ditindak lanjuti.

Eduard Douwes Dekker diberhentikan dari jabatannya akibat tuduhan terhadap Karta Natanegara. Dia kemudian kembali ke Eropa dan menulis Max Havelaar.

Max Havelaar terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1860. Novel ini terus mengudara. Berbagai kalangan membacanya, hingga sampailah buku ini di tangan para aktivis Belanda. Kaum liberal di Belanda kemudian bereaksi dengan melakukan demonstrasi. Mereka mengecam agar kerajaan Belanda menghentikan praktik kerja rodi berupa tanam paksa di wilayah koloninya.

Gerakan masif yang dilakukan oleh para aktivis di negara oranje itu tidak sia-sia. Berbagai literatur mengatakan bahwa Max Havelaar dan protes kaum liberal di Belanda menjadi cikal bakal lahirnya politik etis di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda coba membayarkan hutang-hutang mereka kepada pribumi dengan cara memberikan pendidikan (walaupun hanya unntuk kalangan elit).

Politik etis atau politik balas budi kemudian memberikan kesadaran kepada tokoh perjuangan kemerdekaan akan sebuah kemerdekaan melalui pendidikan yang diembannya. Para tokoh bangsa yang berpendidikan tersebut pada akhirnya semakin lantang menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Dan pada akhirnya Indonesia dapat merdeka.

Melihat runtutan peristiwa dari mulai terbitnya novel Max Havelaar, protes-protes para aktivis di Belanda, hingga lahirnya politik etis, Pramudya Ananta Toer menjuluki novel Max Havelaar sebagai 'kisah yang membunuh kolonialisme.'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun