Hari Guru Nasional (HGN), yang jatuh setiap 25 November, adalah momen khusus untuk menghormati jasa guru dalam mendidik dan membentuk karakter bangsa. Di banyak sekolah, peringatan ini sering diisi dengan upacara bendera, penghargaan kepada guru, hingga berbagai kegiatan simbolis. Namun, di tengah rutinitas perayaan tersebut, muncul pertanyaan penting: Apakah peringatan Hari Guru Nasional telah menjadi refleksi kritis terhadap peran guru atau hanya sekadar seremonial tanpa makna mendalam?
Guru dalam Pembangunan Bangsa: Mengapa HGN Penting?
Guru memegang peranan strategis dalam membentuk generasi masa depan. Ungkapan "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa" bukan hanya kiasan, tetapi realitas yang menunjukkan bahwa guru adalah aktor utama dalam transfer ilmu, nilai, dan moral. Peran ini menjadi semakin kompleks di tengah tantangan globalisasi, perkembangan teknologi, dan perubahan karakter masyarakat.
Hari Guru Nasional seharusnya menjadi momen refleksi bersama---bukan hanya untuk mengapresiasi guru, tetapi juga untuk mengevaluasi sejauh mana sistem pendidikan telah mendukung peran mereka. Sayangnya, di banyak tempat, HGN cenderung dipandang sebagai acara rutin seremonial tanpa menyentuh isu-isu fundamental yang dihadapi guru, seperti kesejahteraan, penghargaan, dan tantangan profesionalisme.
Refleksi Kritis: Apa yang Seharusnya Dibahas di HGN?
1. Kesejahteraan Guru
Banyak guru, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi tantangan ekonomi yang serius. Gaji yang tidak memadai, status honorer yang tidak jelas, hingga akses terbatas ke pelatihan profesional menjadi masalah nyata yang sering terabaikan. Peringatan HGN seharusnya menjadi momentum untuk mendiskusikan kebijakan konkret yang dapat meningkatkan kesejahteraan guru.
2. Penghormatan dan Profesionalisme
Dalam beberapa tahun terakhir, posisi guru sebagai figur yang dihormati semakin tergerus. Kasus kekerasan terhadap guru atau hilangnya wibawa di kelas menjadi tanda bahwa ada pergeseran nilai dalam masyarakat. Hari Guru dapat menjadi momen refleksi bagi semua pihak untuk mengembalikan penghormatan kepada guru sebagai pilar utama pendidikan.
3. Evaluasi Sistem Pendidikan
Hari Guru juga dapat menjadi forum evaluasi sistem pendidikan nasional, terutama menyangkut kurikulum, metode pengajaran, dan pengembangan kompetensi guru. Sistem yang terlalu menekankan administratif sering kali menghambat guru untuk fokus pada proses belajar-mengajar.
Seremonial Belaka: Apa Risiko yang Ditimbulkan?
Ketika peringatan Hari Guru hanya diisi dengan rutinitas seperti upacara, lomba, atau pemberian kado, tanpa disertai pemaknaan mendalam, ada risiko bahwa esensi HGN menjadi hilang. Guru mungkin merasa diapresiasi hanya sehari dalam setahun, sementara tantangan mereka sehari-hari tidak mendapat perhatian serius.
Lebih jauh, perayaan yang terlalu simbolis tanpa upaya nyata bisa menciptakan ilusi bahwa semua baik-baik saja di dunia pendidikan, padahal kenyataannya jauh dari itu. Misalnya, program peningkatan kualitas guru sering kali terhambat oleh kurangnya anggaran atau tidak meratanya distribusi pelatihan.
Pemberian kado kepada guru di Hari Guru Nasional telah menjadi tradisi di beberapa sekolah. Kado ini sering kali berupa barang sederhana seperti bunga, kartu ucapan, atau alat tulis. Namun, di beberapa tempat, tradisi ini berkembang menjadi persaingan, di mana siswa merasa perlu memberikan kado yang mahal untuk menunjukkan apresiasi.
Pertanyaan muncul: Apakah tradisi ini merupakan budaya hedonis?
Budaya hedonis mengacu pada perilaku yang berorientasi pada kesenangan materialistis atau kemewahan. Jika pemberian kado dilakukan semata-mata untuk pamer, maka hal ini dapat mengarah pada nilai-nilai hedonistik. Namun, jika pemberian kado didasarkan pada niat tulus untuk menghargai guru, maka tradisi ini tetap memiliki makna positif.
Bagaimana Jika Murid Tidak Memberikan Kado?
Tidak semua siswa memiliki kemampuan finansial untuk memberikan kado, dan hal ini sering kali menimbulkan rasa minder di kalangan siswa yang kurang mampu. Penting untuk menanamkan pemahaman bahwa apresiasi kepada guru tidak selalu harus diwujudkan dalam bentuk barang. Sebuah ucapan tulus, doa, atau sikap hormat sehari-hari justru menjadi penghargaan yang lebih bermakna bagi guru.
Guru yang sejati tidak mengharapkan hadiah materi dari muridnya. Mereka lebih menghargai perubahan positif dan keberhasilan siswa dalam belajar sebagai "kado" yang sebenarnya. Sekolah juga perlu mendukung siswa dengan memberikan pemahaman bahwa penghargaan kepada guru tidak selalu bersifat material.
Sejarah Tradisi Pemberian Kado pada Hari Guru
Tradisi pemberian kado kepada guru dipengaruhi oleh budaya Barat, di mana momen-momen tertentu seperti Teacher Appreciation Day sering diisi dengan pemberian hadiah oleh siswa atau orang tua.Â
Tradisi ini kemudian diadopsi di beberapa sekolah di Indonesia, khususnya sekolah swasta atau sekolah dengan pengaruh budaya internasional. Awalnya, hadiah diberikan sebagai bentuk apresiasi simbolis, namun seiring waktu, maknanya kadang bergeser menjadi formalitas atau bahkan ajang pamer.
Apakah Termasuk Gratifikasi?
Menurut hukum di Indonesia, gratifikasi adalah pemberian dalam bentuk apa pun kepada pejabat negara yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.Â
Dalam konteks guru, pemberian hadiah sederhana yang bersifat personal dan tidak memengaruhi objektivitas tugas guru sebagai pendidik umumnya tidak dianggap sebagai gratifikasi. Namun, jika hadiah diberikan dengan tujuan memengaruhi penilaian atau perlakuan khusus, hal ini bisa masuk dalam kategori gratifikasi yang tidak etis.
KPK pernah memberikan pedoman bahwa pemberian hadiah kepada guru atau pejabat harus bersifat wajar, tidak berlebihan, dan tidak memengaruhi kinerja mereka. Untuk menghindari potensi pelanggaran, sekolah dapat membuat kebijakan khusus, seperti mengganti tradisi pemberian kado dengan penghormatan simbolis, seperti kartu ucapan massal atau acara bersama
Langkah Menuju Peringatan yang Bermakna;
1. Diskusi dan Forum Publik
Libatkan guru, siswa, dan pemangku kebijakan dalam diskusi terbuka saat HGN. Tema-tema seperti perbaikan sistem pendidikan, tantangan globalisasi, dan kesejahteraan guru bisa menjadi agenda utama.
2. Penghargaan Berbasis Kinerja
Alih-alih seremonial penghargaan rutin, fokuskan apresiasi pada guru yang benar-benar memberikan dampak nyata. Hal ini dapat memotivasi guru lain untuk terus meningkatkan kualitas mereka.
3. Kegiatan Edukatif dan Transformasi Sosial
Hari Guru dapat diisi dengan kegiatan edukatif yang melibatkan masyarakat, seperti seminar pendidikan, lokakarya guru, atau aksi sosial yang relevan dengan peran guru. Ini bisa memperkuat kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran guru.
Kesimpulan: Refleksi Kritis atau Seremonial Saja?
Peringatan Hari Guru Nasional seharusnya lebih dari sekadar acara simbolis. Momentum ini harus digunakan untuk refleksi kritis terhadap kondisi pendidikan nasional, terutama peran dan tantangan yang dihadapi guru.Â
Dengan pendekatan yang lebih substantif, Hari Guru dapat menjadi pemacu perubahan positif, baik dalam penghargaan terhadap profesi guru maupun dalam penguatan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Jika dikelola dengan baik, HGN dapat menjadi pengingat bahwa keberhasilan bangsa bukan hanya hasil dari kebijakan pemerintah, tetapi juga buah dari kerja keras para guru yang berjuang di garis depan pendidikan.Â
Jangan biarkan Hari Guru hanya menjadi seremonial belaka. Mari jadikan peringatan ini sebagai refleksi mendalam untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi pendidikan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H