Tapi film cukup berani membebankan pov (sudut pandang) pada Tarra Budiman. Tarra, dalam sependek karya-karyanya yang saya tonton, hampir tidak pernah menunjukkan kekuatan emosi dengan range yang luas. Tapi di Modal Nekad, beban tersebut berhasil ia angkat, sehingga karakter Jamal menjadi nyawa terbesar bagi hidupnya film ini.
Saya senantiasa memberikan apresiasi kepada film-film yang mengusung konsep brotherhood. Sebagaimana kita tahu, tren #LelakiTidakBercerita masihlah viral di masa sekarang. Seorang lelaki dianggap lemah jika bercerita. Padahal lelaki juga seorang manusia yang punya hati dan perasaan.
Maka Modal Nekad seakan jadi katarsis bagi para penonton lelaki yang kesulitan mengungkapkan perasaan terdalamnya. Film ini memberikan impresi yang sama menyenangkannya dengan dua film brotherhood favorit saya, Serigala Terakhir (2009) dan Pertaruhan (2017).
Film yang baik selalu memiliki value
Saya masihlah percaya, bahwa karya film meskipun fiksi, ia bisa menjadi media spiritual bagi masing-masing penontonnya. Pengalaman spiritual tersebut bisa hadir jika dan hanya jika film punya value dan insight yang ingin disampaikan. Meski penerimaan pesannya akan sangat subjektif dari masing-masing penonton.
Modal Nekad punya itu. Ibarat istilah "buruk-buruk papan jati", keluarga tetaplah keluarga. Sebagaimanapun menyebalkan saudara kita, mereka tetaplah saudara yang punya hak untuk diberi maaf, nasihat, dan kasih sayang.
Jelas sekali, meski berjudul Modal Nekad film ini tidak dibuat hanya dengan modal nekat. Film ini lahir dari keinginan pembuatnya untuk menyebarkan cinta kasih sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H