Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Suka Duka Menjadi Ekstras

14 Oktober 2024   18:49 Diperbarui: 14 Oktober 2024   19:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan saya (berkaus putih) menjadi ekstras di salah satu FTV/doc. MD Entertainment

Industri hiburan dunia sedang diramaikan oleh kasus P Diddy terkait (dugaan) kekerasan, pelecehan sek*ual, dan perbuatan asusila lainnya kepada artis-artis Hollywood ternama. Ditengarai, P Diddy adalah sosok yang manipulatif. Menjanjikan ketenaran kepada sang artis, padahal ada maksud lain di baliknya.

Tapi ya begitulah industri hiburan bekerja. Banyak cara dilakukan agar bisa terkenal dan populer. Dan tentu saja bagian tersulitnya adalah mempertahankannya ketika popularitas itu sudah didapatkan.

Apalagi untuk sampai di puncak, nggak semua artis beruntung bisa langsung bertahta di istana popularitas. Sebagian besar harus memulainya dari bawah. Semisal profesi seorang aktor, banyak yang memulainya dari bawah, dan nggak semua juga bisa berhasil.

Melalui tulisan ini, saya akan berbagi soal pengalaman saya berikut suka dukanya menjadi seorang ekstras di indutri film dan televisi.

Saya bahas dulu soal ekstras. Singkatnya, ekstras itu pemeran tambahan di suatu film atau televisi. Perannya sangat kecil. Saking kecilnya, jarang sekali kebagian dialog. Bahkan keberadaannya pun mungkin tidak disadari oleh kru dan pemain utama. 

Harus melalui manajemen/talent agency

Ketertarikan saya terhadap dunia seni khususnya keaktoran memang sudah muncul sejak usia sekolah. Beberapa kali ikut lomba dan pertunjukan kabaret (teater) mewakili sekolah. Rasanya ada kesenangan tersendiri ketika bisa memerankan satu karakter ke karakter lainnya.

Tapi ya namanya juga hidup di daerah, dan arus informasi belum sederas sekarang, sulit sekali untuk tahu dan masuk ke produksi film. Waktu itu tahun 2007, jalan menuju industri ini mulai terbuka saat saya ikut lomba "Mencari Bintang" di Jakarta dan berhasil mendapatkan penghargaan "Best Ekspresi".

Dari sana saya mulai kenalan dengan beberapa manajemen/talent agency. Dan untuk bisa ikut produksi sebagai ekstras wajib sekali gabung dengan talent agency. Beda dengan aktor utama yang bisa independen, sulit bagi ekstras untuk masuk tanpa agency.

Honor kecil dan bisa beda-beda tiap agency

Mulai lebih aktif jadi ekstras pada 2011. Saya sengaja mencari kerja di Jakarta hanya demi bisa ikut syuting. Jadi saya kerja sebagai programmer ambil shift malam, dan siangnya saya casting ke sana ke mari.

Perjuangan berbuah manis dengan menjadi ekstras di beberapa judul sinetron yang syutingnya di Cibubur. Terima honor Rp50.000 per judul sinetron/hari. Dan itu saya harus standby dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Kadang dipakai juga untuk judul lainnya selama masih dalam rumah produksi yang sama.

Lupakanlah honor yang kadang buat reimburse biaya transportasi aja nggak nutup. Saya senang bukan kepalang karena bisa promosi ke keluarga dan teman-teman agar bisa nonton penampilan saya yang tanpa dialog itu. Tapi di sinilah dukanya. 

Ekstras nggak pernah dikasih tahu kapan jadwal tayangnya di televisi. Saya harus 'mengemis-ngemis' ke manajer agar diberikan info. Setelah dapat info pun, ternyata banyak kecewanya. Ada adegan yang sama sekali nggak dimasukkan alias dibuang, ada juga yang ternyata nggak nge-shoot bagian muka.

Saya pernah kebagian adegan di rumah sakit. Perannya jadi pengunjung yang jalan di lorong rumah sakit. Sayangnya, adegan tersebut di-shoot bagian belakangnya. Mana bisa orang percaya kalau itu adalah saya, kalau hanya melihat punggung, haha.

Intinya dari sekian puluh take jadi ekstras, paling hanya satu atau dua adegan yang ngeliatin muka saya. Itu pun hanya sepersekian detik saja. Ternyata nggak gampang ya untuk jadi aktor.

Karena saya ingin menaikkan level saya di keaktoran, saya pun ikut kursus akting. Saya nggak spill nama sanggarnya, tapi pelatihnya memang seorang acting coach yang menangani beberapa aktor ternama saat ini.

Beberapa bulan kursus, ternyata ada manfaatnya. Setelahnya, mulai ditawari peran-peran yang ada dialognya. Tapi selalu berujung gagal ketika screen test.

Saya masih ingat ucapan seorang casting director ketika saya casting peran di sebuah film reliji. "Kamu itu muka mes*m, nggak cocok di peran ini". Dan gara-gara ucapannya tersebut, nampaknya manajer saya menyadari kelebihan saya di mana.

Maka dibawalah saya ke berbagai casting call untuk film esek-esek yang pada tahun segitu masih cukup laris di pasaran. Tapi saya masih idealis. Masa iya, saya yang pernah pesantren harus beradegan dewasa seperti itu. Istigfar dulu sambil ngelus dada. 

Tapi ada satu pengalaman lucu yang nggak pernah bisa saya lupakan. Saya pernah kabur dari casting ketika harus beradegan dewasa dengan lawan main. Udah mau take, tapi sayanya bingung harus ngapain. Namanya juga masih bocah polos, ye kan. Kabur deh.

Kapok! Mungkin memang bukan jalannya saya di keaktoran. Hingga akhirnya saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke Bandung, berkarier sebagai banker.

Tapi hasrat pengin nampil masih ada. Di sela-sela kerjaan kantor, saya masih ikut untuk syuting apabila ada rumah produksi yang lagi syuting di Bandung.

Alhamdulillah masih berjodoh. Beberapa kali ikut syuting FTV yang kali ini ada dialognya. Kadang kebagian juga adu peran langsung dengan pemeran utama. Lebih senengnya, ternyata honor ekstras yang ada dialog itu lebih mahal dikit. Lumayan dibayar Rp150.000/judul/hari pada tahun 2016-an.

Walau begitu, peluang di Bandung nggak sebesar di Jakarta. Bagaimanapun juga industri hiburan masih berpusat di sana. Tapi ya saya sudah menerima pekerjaan ekstras ini hanya sebagai sampingan saja, bukan lagi batu loncatan untuk jadi aktor ternama.

Seiring bertambahnya usia, pemikiran yang semakin kompleks, bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan, mimpi untuk jadi aktor besar sudah saya kubur dalam-dalam. 

Pelajaran yang bisa diambil

Banyak orang bilang, pengalaman adalah guru terbaik. Ya, pengalaman saya syuting sebagai ekstras dan figuran menjadi bagian lembaran kisah hidup. 

Zaman sekarang, untuk menjadi aktor mungkin lebih mudah. Asal follower banyak, bisa saja ditawari main film. Tapi tetap berhati-hati karena kasus casting palsu masih berkeliaran. Banyak modusnya yang entah itu berujung pada penipuan atau lebih jauhnya ke kasus yang mirip P Diddy.

Buat kamu generasi muda yang memang pengin menekuni dunia keaktoran, gabunglah dengan agency yang punya track record baik. Selalu selektif dan berhati-hati ketika casting.  Dan jangan pernah tergiur sedikitpun dengan tawaran popularitas sesaat, apalagi hingga menggadaikan prinsip.

Buat saya, meski menjadi seorang aktor profesional itu memang tidak seharusnya memilih-milih peran, tapi jika bertentangan dengan prinsip hidup yang diyakini, nggak ada salahnya untuk menolak. Tidak semua hal yang bertentangan dengan prinsip bisa dianggap normal dengan berlindung di balik kata profesionalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun