Lupakanlah honor yang kadang buat reimburse biaya transportasi aja nggak nutup. Saya senang bukan kepalang karena bisa promosi ke keluarga dan teman-teman agar bisa nonton penampilan saya yang tanpa dialog itu. Tapi di sinilah dukanya.Â
Ekstras nggak pernah dikasih tahu kapan jadwal tayangnya di televisi. Saya harus 'mengemis-ngemis' ke manajer agar diberikan info. Setelah dapat info pun, ternyata banyak kecewanya. Ada adegan yang sama sekali nggak dimasukkan alias dibuang, ada juga yang ternyata nggak nge-shoot bagian muka.
Saya pernah kebagian adegan di rumah sakit. Perannya jadi pengunjung yang jalan di lorong rumah sakit. Sayangnya, adegan tersebut di-shoot bagian belakangnya. Mana bisa orang percaya kalau itu adalah saya, kalau hanya melihat punggung, haha.
Intinya dari sekian puluh take jadi ekstras, paling hanya satu atau dua adegan yang ngeliatin muka saya. Itu pun hanya sepersekian detik saja. Ternyata nggak gampang ya untuk jadi aktor.
Karena saya ingin menaikkan level saya di keaktoran, saya pun ikut kursus akting. Saya nggak spill nama sanggarnya, tapi pelatihnya memang seorang acting coach yang menangani beberapa aktor ternama saat ini.
Beberapa bulan kursus, ternyata ada manfaatnya. Setelahnya, mulai ditawari peran-peran yang ada dialognya. Tapi selalu berujung gagal ketika screen test.
Saya masih ingat ucapan seorang casting director ketika saya casting peran di sebuah film reliji. "Kamu itu muka mes*m, nggak cocok di peran ini". Dan gara-gara ucapannya tersebut, nampaknya manajer saya menyadari kelebihan saya di mana.
Maka dibawalah saya ke berbagai casting call untuk film esek-esek yang pada tahun segitu masih cukup laris di pasaran. Tapi saya masih idealis. Masa iya, saya yang pernah pesantren harus beradegan dewasa seperti itu. Istigfar dulu sambil ngelus dada.Â
Tapi ada satu pengalaman lucu yang nggak pernah bisa saya lupakan. Saya pernah kabur dari casting ketika harus beradegan dewasa dengan lawan main. Udah mau take, tapi sayanya bingung harus ngapain. Namanya juga masih bocah polos, ye kan. Kabur deh.
Kapok! Mungkin memang bukan jalannya saya di keaktoran. Hingga akhirnya saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke Bandung, berkarier sebagai banker.
Tapi hasrat pengin nampil masih ada. Di sela-sela kerjaan kantor, saya masih ikut untuk syuting apabila ada rumah produksi yang lagi syuting di Bandung.