film yang seburuk itu.
Gara-gara kepincut nama belakang 'Shyamalan' yang duduk di kursi sutradara, The Watchers jadi pengalaman menonton terburuk saya tahun ini. Saya sempat heran, kok bisa-bisanya Shyamalan bikinRupanya saya kurang lengkap membacanya. Saya kira sutradara film tersebut adalah M. Night Shyamalan yang sukses membuat saya tepuk tangan berkat karya-karyanya yang cerdas seperti Split (2016), Glass (2019), dan Unbreakable (2000).
Ternyata yang duduk di kursi sutradara The Watchers adalah sang anak, Ishana Night Shyamalan, yang merupakan debut perdananya sebagai sutradara.
Nggak selamanya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bisa juga jatuh terlalu jauh. Hehe.
Setelah peristiwa itu, saya berhati-hati ketika ingin menonton film Shyamalan. Termasuk film psikologikal thriller terbaru berjudul Trap yang juga disutradarai Shyamalan. Saya pastikan dahulu kalau film tersebut betul disutradarai oleh M. Night Shyamalan. Saya nggak mau terjebak lagi.
Konser yang imersif sebagai jebakan
Seorang ayah menemani putrinya menonton konser Lady Raven, penyanyi muda yang sedang digandrungi terutama oleh remaja putri. Film menggambarkan sosok Cooper (Josh Hartnett), sang ayah yang begitu mencintai putrinya Riley (Ariel Donoghue).Â
Dan tidak sulit bagi saya untuk menginvestasikan emosi kepada karakter mereka berdua sejak awal film. Josh Hartnett dan Ariel Donoghue mampu membangun chemistry yang begitu baik dan sangat natural sebagai ayah dan anak.
Saya sangat peduli dan merasakan bagaimana mereka saling menyayangi. Hingga akhirnya saya tercengang, kalau ternyata konser Lady Raven yang digelar mewah tersebut hanyalah sebuah jebakan untuk menangkap seorang pembunuh berantai yang dijuluki 'Si Jagal'.
Bukan saya saja yang tercengang, Cooper pun terkaget-kaget. Dan ia mulai bertingkah aneh yang membuat Riley curiga dengan sikapnya.
Pada babak pertama film, M. Night Shyamalan memanjakan penonton dengan suguhan konser yang begitu imersif. Arahannya nggak main-main. Ia betul-betul membuat suasana konser yang realistis lengkap dengan tata panggung yang megah, stadion indoor yang luas, dan ditonton oleh puluhan ribu penonton.
Sembari menikmati lagu demi lagu yang dibawakan Lady Raven, penonton juga dibuat penasaran dengan tingkah Cooper yang berusaha mencari cara untuk bisa keluar dari stadion.Â
Selama aksinya, kita tidak perlu bertanya-tanya apakah Cooper adalah 'Si Jagal' yang dimaksud. Karena film tidak menempatkan tebak-tebakan sebagai jalan utama cerita. Sebaliknya, film mengungkap cukup dini kalau Cooper memang Si Jagal yang dicari.
Sampai di titik ini, of course saya percaya bahwa film ini memang disutradarai oleh M. Night Shyamalan yang sekaligus menulis naskahnya.
Menegangkan sepanjang film
Sebagaimana kebanyakan film-film Shyamalan yang memang berpusat di psikologikal thriller, Trap pun punya jejak yang sama. Ini adalah film yang menceritakan tentang seorang serial killer yang sama sekali tidak ada adegan pembunuhannya. Tapi film tetap bisa berjalan dengan seru dan menegangkan.
Trap sangat peduli pada psikologis Cooper sebagai karakter utama. Tentunya untuk menonton karya Shyamalan, kita perlu extra fokus karena ia banyak memberikan petunjuk pada hal-hal kecil yang subtil serta narasi-narasi tokoh yang bisa saja kita melewatkannya.
Tapi dibanding Glass dan Split, saya kira Trap terasa lebih ringan dan sangat ngepop. Alias nggak bikin dahi berkerut saking berpikir terlalu keras memikirkan jalan cerita.
Memang Trap nggak sepenuhnya berjalan mulus. Saya merasakan pengarahan menuju babak duanya agak terlalu dipaksakan. Yakni ketika Cooper berhasil lolos dari stadion dan latar pindah ke rumah tempat ia tinggal bersama istri dan dua orang anaknya.
Dari sini, film membuat karakter Lady Raven lebih dari sekadar penyanyi. Menurut hemat saya, keikutsertaan Lady Raven dalam masalah Cooper agak mencurangi bangunan cerita yang dibangun sejak awal.Â
Apalagi ia menjadi sosok yang berhasil menyelamatkan seseorang yang sedang menjadi sandera Si Jagal. Sepintas cerita berbelok menjadikan Lady Raven seperti superhero, dan mengaburkan siapa protagonis utama film.
Padahal sejak awal, perburuan ini menjadi tugas FBI dan polisi setempat. Terlebih film juga tidak benar-benar menunjukkan adanya hubungan antara Lady Raven dengan karakter yang diselamatkannya.Â
Walau begitu, intensitas ketegangan film tidak menurun. Aksi kucing-kucingan antara Cooper dan FBI tetap menjadi suguhan yang seru dan menegangkan. Terlebih ketika film secara perlahan-lahan menguak motivasi aksi pembunuhan Cooper, terutama saat dialog dengan istrinya.
Kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa Trap tidak sedang menghadapkan penonton pada pilihan untuk menilai apakah perilaku Cooper itu benar atau salah. Ia tidak menjebak kita untuk membela atau menghakimi, tapi mengamati lebih jauh bahwa sejatinya manusia memang memiliki sisi malaikat dan sisi monsternya masing-masing.
Toh, Cooper pun tidak sembarangan dalam memilih korban. Ia hanya memilih korban yang merasa dirinya 'utuh', untuk menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang benar-benar utuh di dunia ini. Sama seperti dirinya yang juga tidak utuh.
Sekali lagi sebuah pesan yang subtil, bahwa yang dibutuhkan manusia terkadang bukanlah puja-puji, tapi cukup sekadar penerimaan diri.
Pada akhirnya Trap bukanlah soal seorang serial killer dengan aksi sadisnya, tapi tentang seorang ayah yang ingin berhasil membangun keluarganya sekalipun ia terjebak dalam dualisme peran yang ia perangkap sendiri. A very fun movie!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H