Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengamati Respons Estetik Sebagai Bagian dari Pengalaman Nonton yang Berkesan

11 Juli 2023   15:01 Diperbarui: 12 Juli 2023   10:03 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panitia berfoto bersama di acara nobar Perempuan Berkalung Sorban/FFB

30 Hari Mencari Cinta adalah film pertama yang saya tonton di bioskop. Film yang mengawali saya jatuh cinta pada sinema. Karenanya, tentu saya tidak akan pernah bisa melupakannya.

Saat itu ketika SMP, saya dan teman-teman mencoba bioskop satu-satunya di kota Sukabumi. Nggak ada rencana mau nonton apa, apalagi cek info dan trailernya terlebih dahulu. Murni, hanya sebagai ABG (remaja) kampung yang penasaran dengan bioskop.

Sayangnya, bioskop tersebut tak bertahan lama. Saya yang terlanjur jatuh cinta pada sinema, terpaksa menuntaskan hasrat menonton dengan pergi ke Tajur, Bogor. Bioskop di Tajur adalah bioskop terdekat dari tempat tinggal saya dengan jarak sekitar 120 kilometer pulang pergi.

Semakin hari, hasrat cinta pada sinema semakin tak terbendung. Memilih kuliah di Bandung agar bisa mencoba berbagai macam bioskop dan fasilitas studionya yang berbeda-beda.

Tapi seiring dengan banyaknya pengalaman menonton, sejujurnya apa yang ditawarkan dari persoalan teknis bioskop, semakin lama jadi semakin terasa biasa-biasa saja. Semisal nonton film di 4DX ya cukup sekali dua kali saja. Sekadar menuntaskan rasa penasaran.

Justru pengalaman nonton yang berkesan hadir dari filmnya itu sendiri dan juga respons estetik dari penonton lainnya.

Tentang respons estetik penonton terhadap (karya) film

Ada orang yang lebih senang menonton dalam keadaan sepi, ada pula yang senang menonton dalam keadaan ramai. Secara pribadi, saya memang lebih senang menonton dalam keadaan sepi. Saya bisa fokus terhadap film yang sedang saya tonton tanpa terdistraksi oleh reaksi penonton lain.

Tapi kalau didalami lebih jauh, reaksi penonton lain bisa menjadi bahan bakar diskusi yang menarik.

Sederhananya begini. Pernah nggak kamu tertawa melihat suatu adegan tapi penonton lain nggak ada yang tertawa? Atau malah sebaliknya, ketika penonton lain tertawa terbahak-bahak, kamu malah mengernyitkan kening karena merasa tidak ada lucunya?

Saya punya pengalaman ketika menonton Once Upon a Time... in Hollywood (2019) karya Quentin Tarantino. Jujur saja, saya hampir tidak bisa tertawa, menangis, atau memberikan reaksi sepanjang film tersebut, kecuali di adegan akhir film.

Tapi teman saya bisa tertawa terbahak-bahak bahkan sampai terpingkal-pingkal. Usut punya usut, dia tertawa karena paham apa yang dijadikan jokes dalam film tersebut, yakni tentang keadaan industri perfilman Hollywood di masa yang dijadikan latar film. Sementara referensi saya akan hal tersebut, bisa dibilang sangat minim.

Maka dengan mempelajari respons penonton, kita tidak akan mudah men-judge sebuah film itu bagus atau jelek hanya karena kita tidak (belum) mengerti dengan apa yang kita tonton.

Ilustrasi di atas bisa dibilang sebagai respons estetik, tapi tingkatannya baru sebatas pada impresi. Sementara lebih jauh lagi respons estetik adalah bagaimana penonton mereaksi unsur-unsur estetika dalam sebuah film termasuk tapi tidak terbatas pada karakter, tema, alur, latar, bentuk, dan gaya bercerita.

Dan cakupan penonton yang saya maksud di sini adalah penonton yang lebih spesifik lagi. Yaitu mereka yang memiliki kesamaan latar belakang dengan unsur estetika yang ada di dalam sebuah film.

Gampangnya begini. Bagaimana respons pekerja seks komersial (PSK) ketika menonton Kupu Malam, bagaimana seorang pialang menonton The Wolf of Wall Street, atau bagaimana seorang hakim ketika menonton Miracle in Cell No. 7.

Satu yang paling berkesan bagi saya terkait hal ini adalah menonton Perempuan Berkalung Sorban bersama-sama para santri dan jajaran akademik di salah satu pesantren di Suryalaya, Tasikmalaya.

Nonton bareng Perempuan Berkalung Sorban di pesantren

Kegiatan nonton bareng ini diinisasi oleh Forum Film Bandung dengan tujuan memang mencermati respons estetik (yang manfaatnya saya tuliskan di bagian akhir tulisan ini).

Perempuan Berkalung Sorban dirasa film yang pas untuk ditonton bersama-sama di pesantren. Film ini bercerita tentang seorang wanita bernama Annisa yang merasa tidak bebas berada di kehidupan pesantren tradisional. Dan sesuai tujuan kegiatan, akan amat sangat menarik jika film ini ditonton dan dibahas oleh orang-orang pesantren.

Kami menonton di aula kampus dengan dua layar proyektor di sebelah kiri dan kanan depan. Ada lebih dari 100 peserta yang ikut serta dalam kegiatan nonton bareng ini. Sebelum nonton, kami ziarah dulu ke makam leluhur dan pendiri pesantren sebagai bentuk menghargai kultur yang berlaku di sana.

Saya tidak akan membahas banyak tentang filmnya tapi lebih ke respon yang diberikan oleh penonton. Silakan teman-teman cari di layanan streaming legal jika tertarik menontonnya.

Peserta nobar Perempuan Berkalung Sorban/FFB
Peserta nobar Perempuan Berkalung Sorban/FFB

Selepas nonton, saat sesi diskusi dimulai, dengan penuh keyakinan, satu orang santriwati sebut saja Mawar, menyoroti makna kebebasan yang diusung dalam film karya Hanung Bramantyo ini. Dalam satu adegan, ketika Annisa bertemu dengan teman wanitanya dan mereka membahas tentang kebebasan. Yang secara tersirat, teman Annisa mengartikan kebebasan adalah bisa 'wikwik' dengan pacarnya.

Mawar mengkritik sekaligus memuji pengadeganan tersebut. Karena menurutnya, dalam usia remaja ketika seseorang memiliki rasa penasaran yang tinggi, semakin dikekang semakin ia akan berusaha untuk mencoba melakukannya. Sebaiknya, pesantren tidak serta melarang tapi juga perlu memberikan edukasi dan alasan kenapa sesuatu itu boleh atau tidak untuk dilakukan.

Namun, ada juga santriwati lain sebut saja Melati, berpendapat yang berbeda dan sedikit banyak menyanggah pendapat Mawar. Menurut Melati, kepatuhan perempuan terhadap orang tua adalah sebuah bakti. Dan tidak sepantasnya, kita melawan keinginan orang tua. Ia masih berkeyakinan bahwa pengalaman dan keilmuan orang tua, membawa kebaikan dalam setiap keputusannya.

Saya yang duduk manis di deretan kursi sebelah kanan, turut larut dalam diskusi tersebut. Saya sangat salut melihat keberanian para santri mengeluarkan pendapatnya dengan gagah berani tapi tetap santun.  Mereka bisa saling sanggah opini dan mewujudkan diskusi yang sehat.

Pun sikap bijaksana ditunjukkan oleh rektor kampus (pesantren) tersebut, yang betul-betul memberikan tempat seluas-luasnya bagi para santrinya untuk berpendapat. Dan dikatakan oleh sang rektor, ini adalah pengalaman baru bagi para santri menonton film dan dibahas secara bersama-sama secara terbuka dari keilmuan dan subjektivitas masing-masing.

Para pemateri dan pemandu diskusi/FFB
Para pemateri dan pemandu diskusi/FFB

Apa manfaatnya bagi saya pribadi ketika mengamati respons estetik?

1. Menambah wawasan dan pengalaman. Sudah barang tentu, dengan mengamati dan mencermati respons estetik, wawasan kita akan bertambah. Semakin kita mencari ilmu baru, semakin kita sadar kalau kita belum banyak tahu. Dan juga memberikan pengalaman baru akan sesuatu yang belum pernah kita alami atau rasakan sebelumnya.

2. Mengurangi rasa superior dan meningkatkan kemampuan apresiasi. Kita seringkali merasa superior kalau penilaian kita terhadap sebuah film adalah mutlak yang paling benar. Padahal sejatinya film bukanlah matematika yang nilainya pasti.

Dengan kita sering mempelajari respons estetik, semakin kita akan rendah hati dalam memperlakukan film. Sekaligus juga akan lebih toleransi terhadap penilaian orang lain.

Sebagai contoh, ketika ramai orang-orang memuji serial Katarsis, saya menemukan kecacatan di episode 5. Dalam episode tersebut, Katarsis menyebut 'kreditur' sebagai istilah yang merujuk pada orang yang meminjam uang (berhutang). Padahal seharusnya orang yang berhutang itu disebut dengan 'debitur'. Sementara kreditur adalah sebutan untuk orang yang meminjamkan uang.

Kesalahan minor ini langsung saya rasakan, karena saya punya pengalaman bekerja di perbankan bertahun-tahun. Sehingga secara otomatis rasa janggal itu muncul begitu saja. Tapi itu nggak membuat saya lantas 'menyalahkan' mereka yang memuji Katarsis. Bahkan selanjutnya hal tersebut menjadi topik diskusi, sejauh mana kecacatan tersebut memengaruhi estetika film.  

3. Memperkuat rasa cinta terhadap film. Diskusi film tidak lagi soal bagus atau jelek, tapi juga bagaimana pengaruh film tersebut dalam kehidupan. Melihat film lebih luas lagi, semakin kita akan jatuh cinta pada film. Karena film bisa memberikan inspirasi bagi kehidupan kita pribadi sebagai masyarakat dan makhluk sosial.

Meski perlu saya akui, tidak semua film bisa begini. Atau katakanlah tidak banyak film (Indonesia) yang bisa diperlakukan seperti ini. Tidak banyak film yang bisa berumur panjang, yang eksistensi dan pembicaraannya tidak hanya selesai saat tayang di bioskop saja.

Menurut Chand Parwez Servia, produser Perempuan Berkalung Sorban yang juga turut hadir dalam diskusi, seenggaknya film yang baik harus memenuhi unsur 4E yakni Edukasi, Entertainment, Estetika, dan Esklusivitas. Dan menurut hemat saya, Perempuan Berkalung Sorban yang rilis pada tahun 2009 ini, memenuhi keempat unsur tersebut. Makanya, film yang usianya sudah lebih dari satu dasawarsa ini, masih relevan untuk dikaji di masa kini.

Mungkin di tulisan lain saya akan bahas secara lebih rinci lagi mengenai 4E ini.

Itulah sedikit pengalaman saya tentang pengamatan respons estetik terhadap sebuah film.

Kesan film tidak lagi hanya bisa didapatkan dari nonton di mana, bersama siapa, nonton apa, kualitas layar dan audio, atau hal-hal teknis lainnya. Tapi lebih jauh lagi bagaimana kita bisa menyelami pemikiran orang lain dan melakukan refleksi.

Dan teman-teman bisa mencobanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun