Mawar mengkritik sekaligus memuji pengadeganan tersebut. Karena menurutnya, dalam usia remaja ketika seseorang memiliki rasa penasaran yang tinggi, semakin dikekang semakin ia akan berusaha untuk mencoba melakukannya. Sebaiknya, pesantren tidak serta melarang tapi juga perlu memberikan edukasi dan alasan kenapa sesuatu itu boleh atau tidak untuk dilakukan.
Namun, ada juga santriwati lain sebut saja Melati, berpendapat yang berbeda dan sedikit banyak menyanggah pendapat Mawar. Menurut Melati, kepatuhan perempuan terhadap orang tua adalah sebuah bakti. Dan tidak sepantasnya, kita melawan keinginan orang tua. Ia masih berkeyakinan bahwa pengalaman dan keilmuan orang tua, membawa kebaikan dalam setiap keputusannya.
Saya yang duduk manis di deretan kursi sebelah kanan, turut larut dalam diskusi tersebut. Saya sangat salut melihat keberanian para santri mengeluarkan pendapatnya dengan gagah berani tapi tetap santun. Â Mereka bisa saling sanggah opini dan mewujudkan diskusi yang sehat.
Pun sikap bijaksana ditunjukkan oleh rektor kampus (pesantren) tersebut, yang betul-betul memberikan tempat seluas-luasnya bagi para santrinya untuk berpendapat. Dan dikatakan oleh sang rektor, ini adalah pengalaman baru bagi para santri menonton film dan dibahas secara bersama-sama secara terbuka dari keilmuan dan subjektivitas masing-masing.
Apa manfaatnya bagi saya pribadi ketika mengamati respons estetik?
1. Menambah wawasan dan pengalaman. Sudah barang tentu, dengan mengamati dan mencermati respons estetik, wawasan kita akan bertambah. Semakin kita mencari ilmu baru, semakin kita sadar kalau kita belum banyak tahu. Dan juga memberikan pengalaman baru akan sesuatu yang belum pernah kita alami atau rasakan sebelumnya.
2. Mengurangi rasa superior dan meningkatkan kemampuan apresiasi. Kita seringkali merasa superior kalau penilaian kita terhadap sebuah film adalah mutlak yang paling benar. Padahal sejatinya film bukanlah matematika yang nilainya pasti.
Dengan kita sering mempelajari respons estetik, semakin kita akan rendah hati dalam memperlakukan film. Sekaligus juga akan lebih toleransi terhadap penilaian orang lain.
Sebagai contoh, ketika ramai orang-orang memuji serial Katarsis, saya menemukan kecacatan di episode 5. Dalam episode tersebut, Katarsis menyebut 'kreditur' sebagai istilah yang merujuk pada orang yang meminjam uang (berhutang). Padahal seharusnya orang yang berhutang itu disebut dengan 'debitur'. Sementara kreditur adalah sebutan untuk orang yang meminjamkan uang.
Kesalahan minor ini langsung saya rasakan, karena saya punya pengalaman bekerja di perbankan bertahun-tahun. Sehingga secara otomatis rasa janggal itu muncul begitu saja. Tapi itu nggak membuat saya lantas 'menyalahkan' mereka yang memuji Katarsis. Bahkan selanjutnya hal tersebut menjadi topik diskusi, sejauh mana kecacatan tersebut memengaruhi estetika film. Â
3. Memperkuat rasa cinta terhadap film. Diskusi film tidak lagi soal bagus atau jelek, tapi juga bagaimana pengaruh film tersebut dalam kehidupan. Melihat film lebih luas lagi, semakin kita akan jatuh cinta pada film. Karena film bisa memberikan inspirasi bagi kehidupan kita pribadi sebagai masyarakat dan makhluk sosial.