Saat diskusi di meja makan, kamera muter. Saat ngobrol di atas sekolah, kamera muter. Memang nggak ada yang salah dengan kamera muter, tapi seharusnya punya makna dan filosopi.
Semisal di Miracle in Cell in No. 7, pendekatan kamera muter hanya dilakukan sekali di ruang sidang sebagai klimaks film. Hal ini bisa dibaca sebagai bentuk kesemrawutan proses hukum yang dijalani oleh karakter utama dari awal hingga akhir cerita.
Sementara di Argantara, nampaknya hanya untuk gaya-gayaan saja. Apalagi final battle-nya yang berlatar di diskotik. Lampu kelap-kelip yang menjadi props untuk menguatkan adegan malah membuat penglihatan saya terganggu.
Argantara hanya menjadi wahana untuk repetitif seputar dua hal ini saja. Nggak ada penggalian yang lebih dalam bagaimana dua karakter utamanya berinteraksi dengan orangtua, yang bisa saja membuat kita lebih peduli pada motivasi atas setiap keputusan yang mereka ambil.
Sebetulnya, Argantara menyimpan satu kejutan lewat karakter lain. Tapi sayangnya, cara sutradara Guntur Soeharjanto mengungkapkan kejutan ini tidak cantik. Sama halnya seperti Syera yang tidak terkejut ketika mengetahui kejutannya, saya juga begitu.
Kejutan ini hanya diperlihatkan di akhir film, tapi seketika diubah haluannya. Membuat saya malah jadi bingung, sebetulnya si karakter lain ini seperti apa sih pengaruhnya terhadap cerita.
Akibatnya, Argantara terjebak pada paradigma bahwa film harus menuntaskan proses perjalanan seluruh karakter. Seluruh karakter harus berubah menjadi baik pada akhirnya. Padahal yang terpenting bukan hasil akhirnya, tapi bagaimana proses perjalanan menuju ke sananya.
Mengesampingkan persoalan-persoalan kedalaman cerita, Argantara memang jadi fanservice yang menarik terutama bagi remaja pengikut Aliando dan Natasha Wilona
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H