Perkara bentuk dan gaya berkreasi yang saya maksud bisa kita cermati dalam dua film seperti Knives Out dan Murder on The Orient Express.
Sama halnya dengan Midnight in the Switchgrass, kedua film ini sama-sama berusaha mencari dalang dari suatu kasus pembunuhan. Hanya saja bentuk filmnya yang berbeda. Dua film ini lebih memilih bertumpu pada kekuatan dialog dan latar tempat yang sempit yakni hanya berada di satu tempat saja.
Pilihan yang diambil oleh dua film ini tidak diambil oleh Midnight in the Switchgrass. Sang sutradara lebih memilih alur cerita yang linear saja tanpa banyak plot-plot yang mengharuskan kita mikir atau ikutan nebak-nebak siapa pelakunya.
Namun pilihan ini juga membuahkan dualisme konsekuensi. Filmnya memang lebih mudah diikuti dan dicerna oleh penonton umum karena fokus ceritanya, tapi sekaligus juga membosankan karena kurang menggali estetika sinemanya.
Kita hanya akan melihat polisi yang kebingungan mencari jawaban atas semua masalah ini. Sesekali sang polisi menyambangi rumah keluarga korban untuk menyampaikan rasa duka ketika korban baru muncul dan ditemukan.
Begitu saja terus alurnya. Cerita nggak menunjukkan perkembangan investigasi kasusnya. Hingga akhirnya FBI ikut campur dalam kasus ini.
Mereka adalah Karl Helter (Bruce Wilis) dan Rebecca Lombardo (Megan Fox), dua agen FBI yang juga tertantang untuk menguak ada apa di balik pembunuhan berantai ini.
Dan tentunya sudah bisa tertebak bukan, kalau si Byron dianggap sebagai polisi yang nggak becus dan akhirnya dipindahtugaskan? Ya memang begitu!
Sayangnya, motivasi dan latar belakang kurang digali
Satu hal yang menarik dari hasil investigasi tersebut adalah kesamaan profil si korban. Mereka semua adalah perempuan jalang alias pelacur. Dan si pelaku merasa berhak untuk membunuh mereka karena dianggap 'mengotori' dunia.
Sebuah pemikiran yang menarik untuk digali. Apakah dengan membunuh tidak membuat kita juga kotor seperti mereka?
Saya jadi teringat kuot-kuot yang pernah mampir di timeline. Katanya begini: "Kita semua adalah pendosa, hanya saja jalannya yang beda"