Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Narasi Penting dari Film Klasik "Titian Serambut Dibelah Tujuh" yang Masih Relevan hingga Saat ini

19 April 2022   13:50 Diperbarui: 19 April 2022   16:25 2371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lewat film ini, kabarnya El-Manik masuk Islam/Mola

Sewaktu diskusi rutin pengamatan terutama ketika membahas film Islam, pak Eddy D. Iskandar (ketua umum Forum Film Bandung), seringkali menyebut satu judul film klasik yang bisa dijadikan bahan diskusi. Film tersebut adalah Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982) karya sutradara Chaerul Umam.

Pertama kali mendengarnya, saya sudah jatuh cinta pada judulnya. Kenapa? Begini. Dalam Islam, ada keyakinan bahwa sebelum masuk surga, manusia akan melewati jembatan yang disebut Siratalmustakim. Dan jembatan tersebut digambarkan berbeda dengan jembatan yang ada di dunia saat ini. Bentuknya sangat tipis sekali. Saking tipisnya jembatan tersebut diibaratkan seperti rambut yang dibelah tujuh.

Maka ketika saya menemukan film ini di salah satu layanan streaming legal, saya langsung menontonnya.

Cerita singkat Titian Serambut Dibelah Tujuh

Film yang skenarionya ditulis oleh Asrul Sani ini bercerita tentang Ibrahim (El Manik), seorang guru muda yang datang ke suatu kampung untuk memberikan ajaran agama. Namun kedatangannya tidak disukai penduduk kampung tersebut.

Untuk membuat Ibrahim pergi meninggalkan kampung tersebut, dibuatlah fitnah bahwa sang guru muda sudah memperkosa seorang gadis desa bernama Halimah (Dewi Irawan). Sehingga Ibrahim mendapat ancaman dan akan dibunuh oleh seluruh penduduk kampung.

Narasi-narasi penting yang bisa kita ambil

Selepas menonton film ini, saya sungguh-sungguh mengapresiasi duet maut Chaerul Umam-Asrul Sani ini. Terasa sekali ketika film Islam dibuat oleh orang-orang yang memahami Islam dengan betul. Kalaulah dibandingkan dengan film religi kontemporer, saya kira masih sulit mencari yang seperti ini. Apalagi narasi-narasi yang dihadirkan dalam film ini pun, masih relevan hingga saat ini dan mungkin dalam waktu-waktu mendatang.

Berikut beberapa narasi yang saya kira bisa jadi bahan refleksi kita semua dalam kehidupan bermasyarakat:

1. Manusia mudah terprovokasi oleh sosok alim nan soleh?

Fitnah bahwa Ibrahim telah memperkosa Halimah, dibuat oleh Arsad. Arsad sendiri dikenal sebagai salah satu pemuda alim di masyarakat. Oleh karenanya, semua penduduk kampung percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arsad.

Arsad membuat fitnah ini karena Ibrahim memergokinya ketika memperkosa Halimah. Kasarnya, daripada ia yang kena getahnya, karena Ibrahim pasti tidak akan diam saja, lebih baik ia duluan yang melempar fitnah.

Coba kita refleksikan ke zaman sekarang. Betapa mudahnya kita terprovokasi oleh orang yang personanya sangat alim dan soleh, tapi seringkali menebar kebencian dan permusuhan. Dalam menghadapi hal semacam ini, kita sebagai manusia seakan kehilangan akal dan daya berpikir kritis ketika 'orang-orang soleh' tersebut menyampaikan sesuatu. Dan kita langsung menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.

Padahal selayaknya manusia, tempat salah dan lupa, mereka pun bisa saja sedang salah. Kita nggak bisa bagai kerbau dicocok hidungnya begitu saja, tanpa disertai dengan pemikiran yang sehat. Dah mungkin inilah kenapa Allah berkali-berkali menekankan pentingnya akal dalam setiap langkah yang kita lakukan. Kalau kita cek Al-Quran, banyak ayat yang dengan tegas mengakhiri sabdaNya dengan kalimat ajakan 'supaya kamu berpikir' .

Baca Juga: Fenomena Ustad Televisi

2. Mudah menghakimi orang lain dan merasa benar sendiri

Saya akan bicara film lain dulu yang serupa yakni Perempuan Berkalung Sorban (2009).

Ada satu adegan yang saya suka dari film arahan Hanung Bramantyo ini. Yakni ketika karakter Annisa dituduh berzina. Semua warga pesantren tempat Annisa tinggal sudah siap-siap merajamnya. Mereka sudah membawa batu di tangannya masing-masing.

Lalu kemudian datanglah ibu Annisa memeluknya, seraya memandangi mereka satu per satu, kemudian berkata:

"Hanya yang tidak berdosa, yang boleh melempar"

Kejadian fitnah berzina terjadi juga pada Ibrahim. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah dituduh memperkosa Halimah, ia pun dituduh berzina dengan istri Harun, seorang yang kaya raya di kampung tersebut. Istri Harun jatuh hati pada Ibrahim. Ya wajar saja, kalau istri Harun menyukai Ibrahim mengingat sang suami lebih senang bermain-main dengan budak lelakinya.

Namun, rasa cinta istri Harun ini tidak mendapat balasan dari Ibrahim, sekalipun ia betul-betul telah menggodanya dengan berbagai cara. Karena tidak berhasil, maka istri Harun melemparkan tuduhan zina pada Ibrahim.

Mengetahui ini, penduduk kampung semakin murka. Mereka lantas mencari Ibrahim ke kediamannya. Bagi mereka Ibrahim ini sudah salah dan sesat. Lalu bagaimana Ibrahim menghadapi amarah penduduk kampung ini?

Ibrahim menemui mereka seraya menjelaskan kebenarannya? Oh tentu tidak! Ibrahim kabur dan lari. Walau Ibrahim berada dalam posisi yang benar, ia tetap kabur dari amukan massa. Bagaimana pun melindungi nyawa adalah hal yang utama. Ibrahim juga manusia biasa yang memiliki rasa takut. 

Tentang karakter inilah yang menjadi salah satu favorit saya dalam sebuah film. Senada dengan Perempuan Berkalung Sorban, film ini melakukan karakterisasi karakternya hingga titik terdalam seorang manusia. Hal yang sangat jarang kita temukan di film Islami masa kini yang sebagian karakter utamanya digambarkan seperti malaikat tanpa cela. Bahkan menolong orang yang hampir bunuh diri saja bisa berujung pernikahan. Padahal hal tersebut membahayakan rumah tangganya. Eh film apa ini?

3. Ketika ulama dekat dengan penguasa, apa yang terjadi?

Sebelum Ibrahim datang, di kampung tersebut sudah ada ulama atau sesepuh kampung yang mengajarkan agama. Dia adalah Pak Sulaeman. Cara mengajarnya cenderung keras dan konservatif. Tak ayal dia seringkali menggunakan hukuman fisik pada anak-anak didiknya jika mereka belum pandai mengaji dan mengulang apa yang ia ajarkan.

Kalau saya sih harusnya introspeksi diri ya. Kalau anak-anak sudah diajar oleh Sulaeman tapi nggak pandai-pandai juga, jangan-jangan ada yang salah dengan cara mengajarnya?

Cara ini tentu berseberangan dengan cara mengajar Ibrahim yang lebih menekankan cara yang lemah lembut. Perbedaan cara mengajar ini yang akhirnya membuat Ibrahim dan Sulaeman selalu berseteru dan silang pendapat.

Sisi lain yang akhirnya terungkap dari Sulaeman adalah kehidupan dunianya yang banyak terpengaruh oleh Harun. Sudah hal lumrah, orang terkaya yang memberikan banyak kontribusi dalam hal kesejahteraan pembangunan akan dianggap sebagai orang yang telah berjasa di masyarakat. Maka apapun yang dilakukan oleh Harun, tidak akan menjadi permasalahan penduduk kampung.

Padahal kehidupan Harun sendiri dekat dengan perjudian dan praktik homoseksual. Dan Sulaeman pun tahu itu, tapi ia hanya diam dan berpura-pura saja seakan praktik kemungkaran yang dilakukan Harun tidak pernah terjadi.

Keadaan ini mengusik nurani Ibrahim yang akhirnya mempertanyakan arti 'diam'-nya Sulaeman akan kemungkaran yang justru terlihat jelas di depan matanya. Bagaimana bisa seorang yang berilmu melihat kemungkaran hanya diam saja. Mengutuknya dalam hati pun tidak, padahal itulah selemah-selemahnya iman?

Narasi ini mengingatkan saya pada proses pemilihan umum yang terjadi di Indonesia. Beberapa calon yang tentulah tidak perlu saya sebutkan namanya, mendadak menjadikan ulama sebagai wakilnya. Buruk sangkanya saya, salah satu alasan menjadikan ulama sebagai pendamping adalah sebagai alat untuk memperbanyak suara. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar dan ulama adalah panutan masyarakat di akar rumput.

Dan benar saja, dua nama yang saya perhatikan, melenggang mulus terpilih menjadi pemimpin. Dan setelah terpilih, sekarang kemana ulama yang menjadi pendamping tersebut? Kiprahnya hampir tidak pernah tersorot media. Bahkan seringkali menjadi bahan candaan warganet dengan istilah 'gabut'.

Sedih? Iya saya sedih. Bagaimana orang-orang yang berilmu bisa dijadikan bahan guyonan oleh warganet.

Ulama ini sejatinya memang mengurusi umat, dan menjadi suara pertama yang paling lantang ketika ada kemungkaran yang jelas terjadi di depannya. Jangan sampai, seperti Sulaeman yang akhirnya terjebak menjadi ulama yang hipokrit. Kalau sudah begini, siapa yang akan menegakkan 'amar ma'ruf nahi munkar'?

Kisah Ibrahim yang berusaha mengubah kemunafikan yang terjadi di kampung ini, bagaikan menyebrangi titian serambut di belah tujuh. Sangat sulit sekali. Namun pada akhirnya kebenaran tetaplah kebenaran. Antara yang hak dan batil tidak akan pernah tertukar.

Wallahualam bishawab!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun