Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Narasi Penting dari Film Klasik "Titian Serambut Dibelah Tujuh" yang Masih Relevan hingga Saat ini

19 April 2022   13:50 Diperbarui: 19 April 2022   16:25 2371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lewat film ini, kabarnya El-Manik masuk Islam/Mola

Kalau saya sih harusnya introspeksi diri ya. Kalau anak-anak sudah diajar oleh Sulaeman tapi nggak pandai-pandai juga, jangan-jangan ada yang salah dengan cara mengajarnya?

Cara ini tentu berseberangan dengan cara mengajar Ibrahim yang lebih menekankan cara yang lemah lembut. Perbedaan cara mengajar ini yang akhirnya membuat Ibrahim dan Sulaeman selalu berseteru dan silang pendapat.

Sisi lain yang akhirnya terungkap dari Sulaeman adalah kehidupan dunianya yang banyak terpengaruh oleh Harun. Sudah hal lumrah, orang terkaya yang memberikan banyak kontribusi dalam hal kesejahteraan pembangunan akan dianggap sebagai orang yang telah berjasa di masyarakat. Maka apapun yang dilakukan oleh Harun, tidak akan menjadi permasalahan penduduk kampung.

Padahal kehidupan Harun sendiri dekat dengan perjudian dan praktik homoseksual. Dan Sulaeman pun tahu itu, tapi ia hanya diam dan berpura-pura saja seakan praktik kemungkaran yang dilakukan Harun tidak pernah terjadi.

Keadaan ini mengusik nurani Ibrahim yang akhirnya mempertanyakan arti 'diam'-nya Sulaeman akan kemungkaran yang justru terlihat jelas di depan matanya. Bagaimana bisa seorang yang berilmu melihat kemungkaran hanya diam saja. Mengutuknya dalam hati pun tidak, padahal itulah selemah-selemahnya iman?

Narasi ini mengingatkan saya pada proses pemilihan umum yang terjadi di Indonesia. Beberapa calon yang tentulah tidak perlu saya sebutkan namanya, mendadak menjadikan ulama sebagai wakilnya. Buruk sangkanya saya, salah satu alasan menjadikan ulama sebagai pendamping adalah sebagai alat untuk memperbanyak suara. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar dan ulama adalah panutan masyarakat di akar rumput.

Dan benar saja, dua nama yang saya perhatikan, melenggang mulus terpilih menjadi pemimpin. Dan setelah terpilih, sekarang kemana ulama yang menjadi pendamping tersebut? Kiprahnya hampir tidak pernah tersorot media. Bahkan seringkali menjadi bahan candaan warganet dengan istilah 'gabut'.

Sedih? Iya saya sedih. Bagaimana orang-orang yang berilmu bisa dijadikan bahan guyonan oleh warganet.

Ulama ini sejatinya memang mengurusi umat, dan menjadi suara pertama yang paling lantang ketika ada kemungkaran yang jelas terjadi di depannya. Jangan sampai, seperti Sulaeman yang akhirnya terjebak menjadi ulama yang hipokrit. Kalau sudah begini, siapa yang akan menegakkan 'amar ma'ruf nahi munkar'?

Kisah Ibrahim yang berusaha mengubah kemunafikan yang terjadi di kampung ini, bagaikan menyebrangi titian serambut di belah tujuh. Sangat sulit sekali. Namun pada akhirnya kebenaran tetaplah kebenaran. Antara yang hak dan batil tidak akan pernah tertukar.

Wallahualam bishawab!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun