Kita jadi lebih sering membicarakan persona sang ustad atau pendakwah, daripada apa yang mereka sampaikan. Kenapa demikian?
Sudah hal lumrah, bulan Ramadan adalah ajang tobat (sementara) bagi program televisi. Sinetron-sinetron yang mempertontonkan serangkaian kebencian dan balas dendam, dikurangi. Diganti dengan sinetron -- sinetron berbau religi dan dakwah.
Program lain pun serupa. Acara gosip dan reality show dikemas sedemikian rupa sehingga bernilai dakwah. Bahkan, nggak sengaja saya melihat iklan yang disisipkan di adegan sinetron pun menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk promo produknya. Subhanallah sekali bukan?
Yang nggak kalah menarik adalah program spesial yang biasanya ditempatkan di slot sahur, subuh, dan menjelang berbuka. Dari program ini setiap tahunnya, hampir dipastikan muncul nama-nama baru sebagai pendakwah.
Bolehlah kalau saya katakan, regenerasi pendakwah televisi ini lebih tokcer dibanding regenerasi aktor, yang sampai saat ini masih banyak orang berujar 'Reza Rahadian lagi, Reza Rahadian lagi'. Hehe.
99 Nama Cinta dan rating program dakwah televisi
Pada 2016, saya pernah ikut terlibat dalam proyek re-branding salah satu televisi lokal di Bandung. Salah satu yang akan dibranding ulang adalah program kuliah subuh. Selama ini program tersebut hanya memutar video dari ustad kondang yang lisensi ceramahnya perusahaan beli.
Menurut direktur televisi yang baru, program tersebut tidak lagi menarik. Apalagi setelah dievaluasi berdasarkan rating dan iklan, sama sekali program ini tidak memberikan keuntungan bagi stasiun televisi.
Untuk memperbaharui program tersebut, saya dan tim diminta untuk membuat program dengan konsep ditayangkan secara live dari studio dan diisi oleh ustad muda yang gaul dan kekinian. Bagi saya sendiri, ini adalah tantangan ini cukup berat. Mengingat program subuh itu memang jarang sekali ditonton karena waktunya memang pagi sekali. Sehingga faktor utama program ini bisa naik secara rating dan menarik penonton, salah satunya terletak pada pendakwah yang tepat.
Kami gerilya ke sana ke mari, mencari informasi ke berbagai lini, tentang ustad yang sekiranya bisa menjadi lead di program ini. Setelah dilakukan pencairan, terpilihlah tiga kandidat ustad yang memenuhi syarat. Tapi hanya satu yang disetujui oleh direktur.
Dipanggillah ia. Lalu kita pun berbincang mengenai tawaran kerjasama, dan tetek bengeknya termasuk masalah jadwal dan honor. Setelah diskusi cukup panjang, sang ustad rupanya menolak dengan halus. Ia mengatakan khawatir akan ada perubahan niatnya dalam berdakwah jika masuk di program televisi berbayar.
Ya, tentu kami tak bisa apa-apa. Kami harus menghargai keputusannya. Tapi yang membuat kami akhirnya terheran-heran adalah kurang lebih tiga bulan setelah tawaran kerjasama dari kami, sang ustad muncul pertama kalinya di televisi nasional.
Hal ini membuat tim kami berseloroh, 'Oh, mungkin kalau di televisi lokal, honornya kecil, dan nggak akan bisa populer'. Dan sekarang ustad ini memang dikenal dan populer sebagai ustad muda gaul nan kekinian, meski beberapa kali tersandung kontroversi karena sering kepleset lidah dalam ceramahnya.
Udah, udah! Jangan nebak-nebak siapa ustadnya!
Saya kembali diingatkan akan pengalaman kecil ini, ketika menonton film 99 Nama Cinta (2019). Diceritakan Thalia (diperankan Acha Septriasa), presenter gosip dengan rating program yang sukses, dipindahkan ke program dakwah subuh yang ratingnya kecil. Diharapkan, dengan dipindahkannya Thalia bisa menaikkan rating program subuh tersebut.
Caranya? Persis dengan apa yang pernah saya lakukan. Poin utamanya adalah menciptakan persona sang ustad yang unik. Demi rating inilah, terkesan persona ustad lebih penting daripada kelilmuannya.
Dan inilah yang terjadi di televisi kita. Kita sebagai penonton lebih disuguhkan karakteristik ustad televisi yang berbeda-beda. Setiap televisi punya ustad andalan masing-masing. Tak jarang jika kontrak mereka habis, bisa pindah ke stasiun televisi lain.
Akibatnya apa? Di tataran jamaah akar rumput, kita jadi lebih senang membicarakan persona pendakwah daripada apa yang mereka sampaikan. Mungkin teman-teman pernah mendengar percakapan ini, atau malah kita sendiri terlibat di dalamnya.
"Ah, aku nggak suka ustad itu, terlalu gemulai. Ustad kok gitu sih"
"Tapi lucu tau, apalagi pas ustad itu mainin sorban, sambil cosplay jadi karakter-karakter ikonik"
"Aku sih lebih suka mamah 'heu heu heu heu' ya, dia mah to the point, blak-blakan"
"Hm.., tapi si mamah mah suka motong pertanyaan jamaah, kan bisa saja kesinggung jamaahnya"
"Mending yang ganteng-ganteng sih, atletis, adem saja lihatnya"
"Tapi aneh ah, masa ceramah pakai kemeja ketat, nanti jamaah malah salfok ke ototnya, daripada materinya"
Hijrah Cinta dan komersialisasi agama
Demi output rating, fenomena ustad televisi ini tak ubahnya seperti menjadi komoditi barang dagang. Jika rating bagus, dipertahankan. Jika rating menurun diganti atau diperbaiki. Dan tentunya, sebagai komoditi barang dagang, ada nilai jual di dalamnya. Alias nggak gratis!
Apakah kalau fenomena seperti ini, bisa dikatakan bahwa agama sedang dikomersilkan?
Sebagai bahan refleksi bersama, saya akan berbagi kepada teman-teman sekalian mengenai impresi saya selepas menonton Hijrah Cinta (2014).
Film arahan Indra Gunawan ini menceritakan sosok almarhum ustad kondang Jefri Al-Buchori. Diceritakan Jefri muda yang berada dalam kesesatan - sering mabuk-mabukan dan narkoba - berubah menjadi ustad. Tapi perubahan yang ia jalani sangatlah nggak gampang. Bahkan ketika Jefri menerima honor pertamanya dari ceramah Jumat, ia masih dilanda kembimbangan.
Di satu sisi, ia harus menafkahi keluarganya, di satu sisi ia merasa bersalah karena telah 'memperjualbelikan' ayat-ayat Allah. Sampai film berakhir, Jefri masih berada dalam keresahannya akan apa yang ia lakukan. Selayaknya manusia biasa, Ustad Jefri terus menerus membawa pertanyaan tersebut hingga akhir hayatnya.
Mengenai fenomena ini saya pernah mendapat insight dari ustad senior yang juga pernah menjabat sebagai ketua MUI Bandung. Menurut beliau, menerima upah dari kegiatan dakwah pada prinsipnya diperbolehkan. Hanya saja, para pendakwah harus terus memelihara kemurnian niatnya. Karena menurut salah satu hadis, segala sesuatu perbuatan itu dinilai karena niatnya.
Ustad televisi, layakkah jadi panutan?
Kita sebagai masyarakat biasa, mungkin sulit untuk mengubah skema industri televisi yang ada. Tapi dengan kita (hanya) mencintai persona pendakwah, kita turut melanggengkan para pendakwah ini hanya sebagai komoditi rating semata. Yang ujungnya jatuh pada 'like' atau 'dislike'.
Tak ayal, jika ada sedikit saja yang kita anggap sebagai cela dari persona pendakwah tersebut, kita dengan mudah berpaling. Kasus ustad kondang asal Jawa Barat yang poligami, seketika ditinggalkan sebagian jamaahnya. Atau kasus selebriti pendakwah yang akhirnya dipertanyakan keilmuannya oleh warganet.
Dua kasus itu, terjadi karena kita lebih mendewakan persona daripada ilmu yang mereka sampaikan. Padahal Imam Syafii yang pemikirannya banyak diikuti di negeri ini pernah berkata tegas:
"Demi Allah! Aku tidak peduli, dari mana pun kebenaran itu muncul, apakah dari lisanku atau lisan lawanku".
Dengan demikian boleh-boleh saja kita menjadikan ustad televisi sebagai panutan, tapi kita harus meletakkan apa yang mereka sampaikan jauh di atas persona yang mereka tampilkan.
Lebih dari itu, mulailah kita memberikan apresiasi pada ustad-ustad yang ada di lingkungan tempat tinggal kita. Mereka yang mengajarkan kita, adik-adik kita, anak-anak kita, bisa mengeja 'a ba ta tsa', hingga bisa mengkhatamkan Al-Quran dengan lancar.
Mereka yang jauh dari hingar bingar popularitas, kurang mendapat tempat di dunia perghibahan warganet, sebagian hidup dalam ekonomi yang biasa saja, tapi memberikan efek yang langsung terasa di hidup kita.
Wallahu a'lam bishawab, bagaimana menurutmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H