"Tapi aneh ah, masa ceramah pakai kemeja ketat, nanti jamaah malah salfok ke ototnya, daripada materinya"
Hijrah Cinta dan komersialisasi agama
Demi output rating, fenomena ustad televisi ini tak ubahnya seperti menjadi komoditi barang dagang. Jika rating bagus, dipertahankan. Jika rating menurun diganti atau diperbaiki. Dan tentunya, sebagai komoditi barang dagang, ada nilai jual di dalamnya. Alias nggak gratis!
Apakah kalau fenomena seperti ini, bisa dikatakan bahwa agama sedang dikomersilkan?
Sebagai bahan refleksi bersama, saya akan berbagi kepada teman-teman sekalian mengenai impresi saya selepas menonton Hijrah Cinta (2014).
Film arahan Indra Gunawan ini menceritakan sosok almarhum ustad kondang Jefri Al-Buchori. Diceritakan Jefri muda yang berada dalam kesesatan - sering mabuk-mabukan dan narkoba - berubah menjadi ustad. Tapi perubahan yang ia jalani sangatlah nggak gampang. Bahkan ketika Jefri menerima honor pertamanya dari ceramah Jumat, ia masih dilanda kembimbangan.
Di satu sisi, ia harus menafkahi keluarganya, di satu sisi ia merasa bersalah karena telah 'memperjualbelikan' ayat-ayat Allah. Sampai film berakhir, Jefri masih berada dalam keresahannya akan apa yang ia lakukan. Selayaknya manusia biasa, Ustad Jefri terus menerus membawa pertanyaan tersebut hingga akhir hayatnya.
Mengenai fenomena ini saya pernah mendapat insight dari ustad senior yang juga pernah menjabat sebagai ketua MUI Bandung. Menurut beliau, menerima upah dari kegiatan dakwah pada prinsipnya diperbolehkan. Hanya saja, para pendakwah harus terus memelihara kemurnian niatnya. Karena menurut salah satu hadis, segala sesuatu perbuatan itu dinilai karena niatnya.
Ustad televisi, layakkah jadi panutan?
Kita sebagai masyarakat biasa, mungkin sulit untuk mengubah skema industri televisi yang ada. Tapi dengan kita (hanya) mencintai persona pendakwah, kita turut melanggengkan para pendakwah ini hanya sebagai komoditi rating semata. Yang ujungnya jatuh pada 'like' atau 'dislike'.
Tak ayal, jika ada sedikit saja yang kita anggap sebagai cela dari persona pendakwah tersebut, kita dengan mudah berpaling. Kasus ustad kondang asal Jawa Barat yang poligami, seketika ditinggalkan sebagian jamaahnya. Atau kasus selebriti pendakwah yang akhirnya dipertanyakan keilmuannya oleh warganet.
Dua kasus itu, terjadi karena kita lebih mendewakan persona daripada ilmu yang mereka sampaikan. Padahal Imam Syafii yang pemikirannya banyak diikuti di negeri ini pernah berkata tegas:
"Demi Allah! Aku tidak peduli, dari mana pun kebenaran itu muncul, apakah dari lisanku atau lisan lawanku".