Mohon tunggu...
Rainny Drupadi
Rainny Drupadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penjawab ABAM

Not too smart, but striving to be smarter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

mBah Maridjan, Tutur, Wawan: Ketegaran Hati, Klenik, dan Iptek

31 Oktober 2010   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:57 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duka saya yang mendalam untuk keluarga korban letusan Merapi.

Hanya kalimat itu yang ingin saya sampaikan sebetulnya. Tapi hati saya dipenuhi pertanyaan dan rasa gundah ketika membaca berita meninggalnya mBah Maridjan, Tutur, Wawan dan 17 orang lainnya di desa Kinahrejo akibat awan panas.

mBah Maridjan tidak mau turun mengungsi, dalam kelembutan dan kejenakaannya ia berkeras, "Semua orang ada tugasnya. Tugas saya di sini." Ketegaran hatinya membuat dia bertahan di daerah berbahaya.

Tutur, sukarelawan PMI, dan Wawan, wartawan, terdorong oleh rasa kemanusian berusaha--untuk kedua kalinya--membujuk bahkan kalau perlu memaksa mBah Maridjan untuk turun. Ketegaran hati  membuat mereka berdua kembali ke daerah berbahaya.

Apa sebetulnya tugas mBah Maridjan sebagai juru kunci? Memimpin upacara labuhan setiap tahun di puncak Gunung Merapi? Tugas apa yang membuatnya merasa harus bertahan di daerah berbahaya hari itu? Menjinakkan Gunung Merapi? Mencegah Gunung Merapi meletus? Menyelamatkan Yogyakarta? Menyelamatkan dunia?

Tidak ada pertanyaan lanjutan untuk Tutur dan Wawan. Saya pahami tindakan mereka yang berani dan tulus. Saya pun mungkin akan melakukan hal yang sama. Walaupun itu akan saya lakukan dengan penuh ketakutan dan bersungut-sungut.

Saya tidak tahu bagaimana dengan 17 orang lain di sekitar rumah mBah Maridjan yang juga jadi korban. Saya tidak menemukan berita yang menceritakan kenapa mereka tidak ikut turun mengungsi seperti 14ribuan orang lainnya. Mungkin karena merasa aman berada di dekat mBah Maridjan. Mungkin merasa harus ikut menjaga, melindungi, dan membantu mBah Maridjan dalam tugasnya. Mungkin tidak ada kaitannya dengan mBah Maridjan. Mungkin kebetulan. Saya tidak tahu.

Lalu deretan pertanyaan itu lagi.

Seandainya mBah Maridjan mengikuti peringatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta dan mengungsi sejak tanggal 25 Oktober, masihkan kita bisa melihat mBah Maridjan, Tutur, Wawan, dan 17 orang lainnya menghirup nafas hari ini? Seandainya.

Seandainya mBah Maridjan, bukan hanya ikut anjuran BPPTK untuk turun, tetapi dengan pengaruhnya yang kuat di masyarakat, ia ikut menganjurkan orang-orang untuk turun dari daerah bahaya, tidakkah itu akan menyelamatkan 17 nyawa lagi? Seandainya.

Sebetulnya saya tidak ingin mengatakan bahwa mBah Maridjan adalah penyebab kematian 17 korban di Desa Kinahrejo, Wawan dan Tutur. Walaupun demikian, saya tidak akan larut memuja dan memuji mBah Maridjan seperti TV yang latah menyebutnya sebagai manusia yang setia dengan amanah yang diembannya atau menjadikannya contoh pembanding perilaku anggota DPR yang studi banding ke Italia dan Yunani.

Bahwa studi banding anggota DPR itu tidak bermutu kita sama-sama mahfum, tapi apa relevansinya dengan mBah Maridjan? Bahwa mBah Maridjan, tanpa banyak menuntut fasilitas dan tanpa memboroskan APBD, setia menjalankan tugas menahan letusan Merapi?

Tapi bagaimana cara mBah Maridjan menahan letusan Merapi? Kita sama-sama tahu dari sejarah bahwa mengorbankan manusia sekalipun--bukan hanya ayam hidup dan kepala kerbau--ke kawah gunung berapi tidak akan serta merta membuat gunung berapi berhenti batuk-batuk dan mengurungkan niatnya meletus. Kita sama-sama tahu bahwa gunung berapi bukan pejabat yang bisa disogok. Tidak dengan uang, tidak dengan ayam.

Lalu apa sebetulnya tugas mBah Maridjan? Mengapa ia tidak turun mengungsi mengikuti anjuran BPPTK? Apakah tugasnya tidak bisa dilaksanakan dari tempat pengungsian? Setidaknya demi menyelamatkan 17 tetangganya dan setidaknya supaya Tutur dan Wawan tidak harus kembali menjemputnya di Kinahrejo.
Apakah mBah Maridjan yakin bahwa ia harus bertahan karena dengan begitu dia menyelamatkan banyak orang? Bukankah itu sebuah keangkuhan? Bagi saya, adalah sebuah keangkuhan, bila seorang manusia, sedekat apapun hubungannya dengan gunung berapi, merasa mampu mengalahkan dan menundukkan kekuatan alam sebesar gunung berapi sendirian.

Hari ini media dan orang-orang masih bicara tentang mBah Maridjan dan kearifan lokal. Saya jadi bertanya apa arti 'arif' dan 'lokal' di situ? Apakah sebetulnya masyarakat, tanpa sadar barangkali, mengakui dan mendelineasi pengetahuan mBah Maridjan sebagai lokal, sebuah cara sopan untuk tidak menyebutnya 'hanya mBah Maridjan yang tahu', 'aneh', 'tak bisa dijelaskan', 'eksentrik', 'tak masuk akal', atau 'klenik'?

Jika ya, lantas apakah pengetahuan itu berarti pengakuan bahwa vulkanologi sebagai 'universal'? 'Global'? Jika ya, lantas selokal apakah lokal itu, dan seglobal apakah global itu?

Ketika mBah Maridjan dengan kearifan lokalnya--apapun itu artinya--bertahan dan mengatakan bahwa itu dilakukan demi tugasnya sementara pada saat yang sama BPPTK, dengan perhitungan terbaik mereka, mengatakan bahwa segera tinggalkan rumah dan mengungsilah, kita ikut yang mana?

Dua-duanya sama-sama tidak 100% pastinya, yang satu mungkin mengandalkan wangsit, yang satu mengandalkan probabilitas, metoda ilmiah, dan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Kalau kearifan lokal salah, risikonya apa?

Kalau BPPTK ternyata salah, seberapa besar sih ruginya mengungsi?

Saya tak bisa membaca pikiran orang lain. Juga pikiran mBah Maridjan. Dan mereka yang tetap bertahan di samping mBah Maridjan. Saya hanya bisa memahami pikiran Tutur dan Wawan.

Kalaupun tak lagi ada pertanyaan, itu hanya untuk Tutur dan Wawan. Dua orang yang tidak saya kenal sebelumnya, bukan orang terkenal, dan kini saya kenal sebagai orang yang berani dan tulus. Jika kata 'berani berkorban', 'setia', 'mengemban amanah kemanusiaan', 'tegar menjalankan tugas,' 'altruis', dan 'pahlawan' masih punya arti, maka tak ragu, semua kata itu saya sandangkan tanpa banyak tanya kepada mereka berdua.

Seandainya saya harus menulis novel yang bercerita tentang heroisme mBah Maridjan hanya ada satu cara di kepala saya. Saya akan membuat mBah Maridjan menolak turun mengungsi sebelum semua orang di daerah berbahaya mengungsi. Laksana seorang kapten kapal yang tenggelam, akan saya citrakan mBah Maridjan sebagai orang yang bertanggung jawab dan hanya bisa 'meninggalkan kapal sebagai orang terakhir' ketika semua orang sudah diselamatkan. Tapi siapa menunjuknya sebagai 'kapten?'

Saya tak tahu bagaimana saya harus melihat mBah Maridjan. Mungkin sebagai tokoh tragikomik.

Barangkali saya cuma bisa usul kepada Sultan HB X agar mengangkat Kepala BPPTK Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun