Bahwa studi banding anggota DPR itu tidak bermutu kita sama-sama mahfum, tapi apa relevansinya dengan mBah Maridjan? Bahwa mBah Maridjan, tanpa banyak menuntut fasilitas dan tanpa memboroskan APBD, setia menjalankan tugas menahan letusan Merapi?
Tapi bagaimana cara mBah Maridjan menahan letusan Merapi? Kita sama-sama tahu dari sejarah bahwa mengorbankan manusia sekalipun--bukan hanya ayam hidup dan kepala kerbau--ke kawah gunung berapi tidak akan serta merta membuat gunung berapi berhenti batuk-batuk dan mengurungkan niatnya meletus. Kita sama-sama tahu bahwa gunung berapi bukan pejabat yang bisa disogok. Tidak dengan uang, tidak dengan ayam.
Lalu apa sebetulnya tugas mBah Maridjan? Mengapa ia tidak turun mengungsi mengikuti anjuran BPPTK? Apakah tugasnya tidak bisa dilaksanakan dari tempat pengungsian? Setidaknya demi menyelamatkan 17 tetangganya dan setidaknya supaya Tutur dan Wawan tidak harus kembali menjemputnya di Kinahrejo.
Apakah mBah Maridjan yakin bahwa ia harus bertahan karena dengan begitu dia menyelamatkan banyak orang? Bukankah itu sebuah keangkuhan? Bagi saya, adalah sebuah keangkuhan, bila seorang manusia, sedekat apapun hubungannya dengan gunung berapi, merasa mampu mengalahkan dan menundukkan kekuatan alam sebesar gunung berapi sendirian.
Hari ini media dan orang-orang masih bicara tentang mBah Maridjan dan kearifan lokal. Saya jadi bertanya apa arti 'arif' dan 'lokal' di situ? Apakah sebetulnya masyarakat, tanpa sadar barangkali, mengakui dan mendelineasi pengetahuan mBah Maridjan sebagai lokal, sebuah cara sopan untuk tidak menyebutnya 'hanya mBah Maridjan yang tahu', 'aneh', 'tak bisa dijelaskan', 'eksentrik', 'tak masuk akal', atau 'klenik'?
Jika ya, lantas apakah pengetahuan itu berarti pengakuan bahwa vulkanologi sebagai 'universal'? 'Global'? Jika ya, lantas selokal apakah lokal itu, dan seglobal apakah global itu?
Ketika mBah Maridjan dengan kearifan lokalnya--apapun itu artinya--bertahan dan mengatakan bahwa itu dilakukan demi tugasnya sementara pada saat yang sama BPPTK, dengan perhitungan terbaik mereka, mengatakan bahwa segera tinggalkan rumah dan mengungsilah, kita ikut yang mana?
Dua-duanya sama-sama tidak 100% pastinya, yang satu mungkin mengandalkan wangsit, yang satu mengandalkan probabilitas, metoda ilmiah, dan ilmu pengetahuan serta teknologi.
Kalau kearifan lokal salah, risikonya apa?
Kalau BPPTK ternyata salah, seberapa besar sih ruginya mengungsi?
Saya tak bisa membaca pikiran orang lain. Juga pikiran mBah Maridjan. Dan mereka yang tetap bertahan di samping mBah Maridjan. Saya hanya bisa memahami pikiran Tutur dan Wawan.
Kalaupun tak lagi ada pertanyaan, itu hanya untuk Tutur dan Wawan. Dua orang yang tidak saya kenal sebelumnya, bukan orang terkenal, dan kini saya kenal sebagai orang yang berani dan tulus. Jika kata 'berani berkorban', 'setia', 'mengemban amanah kemanusiaan', 'tegar menjalankan tugas,' 'altruis', dan 'pahlawan' masih punya arti, maka tak ragu, semua kata itu saya sandangkan tanpa banyak tanya kepada mereka berdua.