Mohon tunggu...
Rainny Drupadi
Rainny Drupadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penjawab ABAM

Not too smart, but striving to be smarter

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membangun Diskusi Kompasiana yang Sehat Berbasis Kompasianers: Akun Spesialis Komentar, Komentar Njengkelin, dan Identitas Palsu

25 Agustus 2010   00:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:44 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu hal lagi yang dianggap meresahkan adalah identitas palsu atau akun anonim, misalnya: laki ngaku perempuan, anak SMA ngaku S3, duda beranak tiga ngaku perjaka ting-ting, atau yang masih hangat: entah siapa tapi karena namanya mirip dikira staf khusus Presiden.
Saya tidak menganggap anonimitas meresahkan melainkan justru bagian yang sangat berharga dari media internet. Mengapa? Karena bagi saya pribadi, praktis semua kompasianer (kecuali yang pernah bertemu muka dan saya kenal secara pribadi) adalah anonim. Dengan beranggapan bahwa semua orang adalah anonim, fokus pemikiran saya bukanlah pada siapa orangnya, bukan pada penampilannya di foto, bukan pada usia atau jenis kelamin, bukan suku bangsanya, bukan domisilinya, tetapi semata-mata hanyalah apa isi pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan dan komentarnya. Hanya ide, lain tidak. Anonimitas memfokuskan saya pada ide seseorang dan menjauhkan saya dari prasangka, dan menghindarkan saya dari perilaku 'menyerang' secara ad-hominem. Fokus pada ide juga mencegah saya dari tergoda oleh pria berwajah ganteng di foto profilnya. Siapa yang tahu wajah aslinya kayak apa. Dengan begitu, saya akan fokus menilai 'isi' dan bukan 'bungkus.'

Dengan fokus pada ide belaka, saya pun tidak terlalu peduli apakah felix itu peternak bebek atau staf khusus Presiden. Buat saya tidak ada bedanya, oleh karenanya, konfirmasi langsung dari yang bersangkutan bagi saya agak berlebihan, terutama kalau kita tidak pernah menganggap serius dan meributkan klaim seseorang atas identitas samarannya atau identitas samaran orang lain. Lagipula, siapa yang tahu kalau staf khusus ini tidak sedang berbohong ketika dia membantah bahwa felix adalah dirinya (walaupun saya yakin tidak demikian halnya). Apa kita perlu panggil ahli telematika untuk pembuktian ilmiah dan berkekuatan hukum? Buat apa repot-repot, lihat saya idenya, ngapain liat orangnya, delete saja komentarnya kalau keterlaluan, memangnya tidak boleh mendelete komentar yang bahkan datang dari Presiden Republik ini sekalipun.

Fokus pada ide, itu satu hal. Hal lain yang berharga dalam anonimitas, bagi saya, adalah bahwa anonimitas membuka kesempatan bagi orang untuk menyampaikan pendapatnya sebebas-bebasnya tanpa harus takut akan konsekuensi negatif yang bisa menimpanya secara fisik. Ini memang pisau bermata dua, di satu sisi anonimitas bisa membuat orang ngawur dan mengacau forum diskusi. Tetapi orang punya seribu alasan positif yang perlu kita pertimbangkan tanpa menghakimi mengapa seseorang menggunakan alias. Beberapa contoh, bisa karena seseorang rendah diri atau punya masalah dalam pergaulan sosial di dunia nyata, padahal dia merasa idenya penting untuk disuarakan, dan media Kompasiana dijadikannya ajang uji coba untuk melontarkan idenya ke publik. Bisa saja dia tidak bisa bebas bersuara karena dibatasi oleh kedudukannya, jabatannya, atau karena lingkungan sosialnya; tapi di Kompasiana dia bisa bersuara apa saja. Selain, barangkali sekadar untuk melampiaskan kepenatannya dalam kehidupan rutinnya, sebagai surviving mechanism 'untuk sementara menjadi orang lain', bisa juga seseorang kemudian memberi informasi yang penting bagi publik tetapi tidak bisa disampaikannya terbuka karena dilarang oleh instansi atau perusahaannya tempat dia bekerja. Menjadi semacam 'whistle blower' atau 'deep throat.' Tetapi bagaimana kalau identitas palsu lantas memberi informasi yang menyesatkan atau fitnah?

Bagaimanapun, pada akhirnya, semua terpulang pada pembaca dan individu kompasianer masing-masing untuk selalu cerdas menyaring dan menimbang informasi serta tidak gegabah. Pertanyakan segalanya, informasi anonim tentu tingkat kepercayaannya lebih rendah dari sumber informasi yang kita kenal secara pribadi, telusur lebih lanjut semua informasinya, cari faktanya, check and recheck, cari sumber informasi lain. Dengan kata lain, menjadi citizen journalist yang baik.

Begitu pula dengan kasus tokoh fiktif penguras air mata yang pernah ramai dibicarakan. Banyak yang merasa rugi karena sudah kering air matanya tetapi ternyata yang ditangisi tidak mati beneran. Ini barangkali adalah pelajaran mengenai perlunya kita untuk selalu punya perlakuan khusus terhadap orang yang tidak kita kenal secara pribadi--teman dunia maya--sekalipun idenya dalam tulisan sangat akrab bagi kita. Ini tentunya juga membuat kehadiran teman-teman kita di dunia nyata menjadi lebih istimewa. Lagipula, menangisi tokoh fiktif 'kan biasa, seperti kalau kita nonton sinteron atau film drama. Nggak apa-apa tho, paling banter itu membuktikan bahwa kita masih punya kemampuan berimajinasi dan berempati.

Pada akhirnya, dengan begitu banyaknya manusia yang terjalin dalam jaringan dunia maya, garis tipis pembatas antara identitas asli dan anonim semakin memudar. Menarik juga, mengikuti kuliah umum Michael Wesch Anthropological Introduction to Youtube untuk melihat bagaimana teknologi komunikasi dan dunia maya bukan hanya mampu menyebarkan ekspresi dan pendapat kita dalam jangkauan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, tetapi juga memberi refleksi cara pandang kita tentang kolektivitas anggota komunitas (maya) serta diri kita sendiri sebagai anggotanya.

Walaupun demikian, pentingnya anonimitas sama sekali tidak mengecilkan pentingnya identitas asli dalam forum ini. Identitas asli saya kira bukan hanya dipersilakan tetapi juga sangat dianjurkan; tetapi hemat saya jangan diwajibkan. Kalaupun diwajibkan, apakah Admin punya waktu dan tenaga cukup untuk mengecek KTP asli pendaftar satu per satu?

Untuk konkretnya saya usul:
1. Anonimitas penting, oleh karenanya, sistem pendaftaran yang memerlukan kerumitan pembuktian diri tidak diperlukan.

2. Biarlah kewenangan mengatur lalu lintas pendapat dan menjaga kesehatan debat tetap dipegang oleh penjaga lapak masing-masing.

3. Disediakan tombol untuk memblok individu agar tidak bisa memberi komentar, misalnya “Blok akun/komenter ini pada tulisan ini” dan “Blok akun/komenter ini untuk semua tulisan saya."

4. Untuk mencegah komentar yang sama terekam berkali--kali, biasanya karena kecelakaan akibat server atau koneksi yang lambat--Kompasiana perlu dipasangi software yang bisa mengenali komentar yang persis sama, mencegah pemuatannya secara berurutan di satu lapak, serta memberi pesan "Maaf komentar Anda tidak kami muat karena Anda baru saja menulis komentar yang persis sama di lapak ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun