Mohon tunggu...
Rainny Drupadi
Rainny Drupadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penjawab ABAM

Not too smart, but striving to be smarter

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membangun Diskusi Kompasiana yang Sehat Berbasis Kompasianers: Akun Spesialis Komentar, Komentar Njengkelin, dan Identitas Palsu

25 Agustus 2010   00:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:44 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebagai Anak baru di sini, saya baru sadar akan geliat dan dinamika komunitas Kompasianers yang sungguh bergelora dan riuh-rendah. Saya baru saja menyempatkan diri melihat ke belakang dan mengamati mengenai dinamika yang rupanya dianggap cukup menggelisahkan bagi sementara Kompasianers. Sebut saja mengenai masalah plagiat, identitas palsu, tokoh fiktif, klaim palsu, selain juga kompetisi dalam 'lomba popularitas' menjadi penulis paling beken dan paling banyak dibaca di Kompasiana ini. Perseteruan juga terjadi dalam perdebatan tak jarang sangat sengit sehingga bahasa kebun binatang dan bahasa rumah sakit jiwa juga sering diutarakan. Saya kira semua itu adalah hal yang wajar dalam demokrasi dan forum tulisan & komentar seperti ini. Kita harus bersyukur bahwa kemajuan teknologi seperti internet membuka saluran lain bagi pendapat kita dan praktis tanpa batas--dibanding jumlah sentimeter kolom pada surat kabar atau majalah. Kita patut bersyukur bahwa melalui internet upaya menyampaikan pendapat menjadi lebih mudah. Kita patut bersyukur pula bahwa melalui internet silang pendapat dan ketidaksetujuan praktis tidak bisa diekspresikan dengan kekerasan fisik. Ini kemajuan bagi kemanusiaan dan peradaban, saya rasa.

Seperti biasa, dalam kemajuan yang sehat juga ada kemajemukan. Karena pada akhirnya, tiap orang punya idenya sendiri-sendiri mengenai apa yang disebut 'maju' dan tentu saja, apa yang disebut 'mundur.' Lalu yang satu teriak, "Saya ini maju, ***jing!" Dan yang diseberangnya meyahut, "Kamu itu mundur, saya yang maju, dasar mulut ******!" Masalah yang cukup menghangat akhir-akhir ini, saya perhatikan adalah mengenai komenter yang menjengkelkan, ngotot, dan 'nyampah' di tulisan tertentu. Rupanya kegigihan--mungkin satu-satunya modal yang dimiliki--si komenter njengkelin ini cukup merepotkan pemilik lapak sehingga dianggap perlu 'penertiban' melalui otoritas Admin Kompasiana.

Akun Spesialis Komentar

Beberapa hari terakhir saya memperhatikan ada beberapa usulan untuk mengatasi masalah komenter njengkelin ini, mulai dari pemblokiran akun oleh Admin sampai sistem registrasi yang memerlukan bukti diri untuk mencegah akun asal-asalan yang dibuat sekadar untuk marah-marah terhadap kritik yang tidak disukainya, entah karena menyinggung kelompok, golongan, atau idolanya. Ada pula yang usul agar komenter yang hanya menulis komentar tapi tak pernah menulis agar diblokir.

Dalam pendapat saya, akun yang tidak aktif menulis dan tidak berkomentar cukup lama (akun sekadar membaca) perlu dihapus demi kerapian dan kerampingan database. Tetapi saya tidak setuju jika akun spesialis komentar dihapus atau diblokir. Saya tidak setuju jika orang tidak boleh hanya berkomentar tanpa menulis di Kompasiana, karena bagi saya Kompasiana bukan hanya tempat untuk berbagi tulisan, akan tetapi juga tempat berbagi pendapat. Dan saya pribadi, bukan hanya mendapatkan keasyikan dari membaca tulisan, tapi juga dari membaca komentar dan menjawab komentar. Dari membaca komentar saya mendapatkan pengetahuan yang banyak, dan menjawab komentar seringkali memaksa saya untuk mencari tahu lebih banyak dan belajar lagi serta menggali ingatan dan referensi untuk memberikan komentar dengan tepat dan cespleng. Tidak jarang komentar orang lain di lapak saya atau komentar saya di lapak orang lain mengilhami saya untuk membuat tulisan yang sama sekali baru. Bahkan, kadang-kadang saya menemukan saling-silang komentar yang lebih seru, menarik, atau menghibur daripada tulisan di atasnya. Saya merasa semua komentar, yang paling menjengkelkan sekalipun, punya arti penting.

Akun tak aktif yang tidak menulis dan tidak berkomentar untuk waktu yang lama, setahun, misalnya, sepertinya memang perlu dihapus, karena kalau hanya ingin membaca tapi tak hendak bersuara, tanpa akun pun bisa dilakukan. Walaupun demikian komentar dari akun pasif total yang sudah terekam, sebaiknya jangan dihapus. Biar jadi catatan sejarah, supaya kita bisa tetap melihat bagaimana khalayak bereaksi terhadap sebuah ide dalam tulisan pada waktu itu.

Komenter Njengkelin

Hal lain, berkaitan dengan kesehatan debat kusir yang sering dirusak suasananya oleh komentar menjengkelkan, saya kira tidaklah bijaksana jika diselesaikan dengan pemblokiran oleh Admin. Debat kusir bisa dipelihara ‘kesehatan’nya jika penulis cukup aktif mengarahkan jalannya debat. Termasuk men’delete’ komentar yang dikhawatirkan betul-betul merusak suasana. Saya ingin otoritas delete-mendelete komentar berada di tangan penulis penjaga lapak, bukan admin Kompasiana. Ibarat kata, biarlah yang jaga warung yang menangani konsumen ngeyel, jangan sedikit-sedikit panggil Pak Camat.

Mengapa demikian? Karena urusan delete-mendelete komentar ini, dalam ukuran Kompasiana sangat besar dan akan sangat merepotkan jadinya. Pertama, mungkin tidak efektif karena terlalu banyak komentar masuk setiap harinya setiap harinya. Betapa merepotkannya bagi Admin untuk melihat dan menilai siapa yang perlu diblokir dan siapa yang masih bisa diterima. Kedua, bisa jadi tidak efektif karena ukurannya apa? Bagaimana mengukur sebuah komentar mempersehat atau mempersakit adu argumentasi yang berlangsung? Komentar yang ngelawak? Atau yang maki-maki? Yang penuh caci-maki pun kadang poinnya penting walaupun disampaikan dengan carut marut. Berarti Admin harus tiap hari mengawasi, setiap akun, setiap tulisan, setiap komentar. Atau ada metoda pelaporan? Ini juga sukar, ini bisa-bisa nantinya malah jadi lomba pengaduan. Si A melaporkan B, si B melaporkan A ke Admin. Nah lo Admin bingung, yang musti di-delete yang mana?

Hal lain yang menyebabkan saya keberatan dengan otoritas Admin untuk memberangus komenter menjengkelkan adalah jika pada akhirnya justru ukuran yang dipakai terlalu ketat sehingga akhirnya malah mematikan suasana lalu lintas dan silang pendapat yang ‘riuh’ dan yang justru adalah daya tarik–setidaknya bagi saya–Kompasiana dibandingkan dengan blog lain.

Identitas Palsu/Anonim/Alias/Nama Samaran dan Tokoh Fiktif

Satu hal lagi yang dianggap meresahkan adalah identitas palsu atau akun anonim, misalnya: laki ngaku perempuan, anak SMA ngaku S3, duda beranak tiga ngaku perjaka ting-ting, atau yang masih hangat: entah siapa tapi karena namanya mirip dikira staf khusus Presiden.
Saya tidak menganggap anonimitas meresahkan melainkan justru bagian yang sangat berharga dari media internet. Mengapa? Karena bagi saya pribadi, praktis semua kompasianer (kecuali yang pernah bertemu muka dan saya kenal secara pribadi) adalah anonim. Dengan beranggapan bahwa semua orang adalah anonim, fokus pemikiran saya bukanlah pada siapa orangnya, bukan pada penampilannya di foto, bukan pada usia atau jenis kelamin, bukan suku bangsanya, bukan domisilinya, tetapi semata-mata hanyalah apa isi pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan dan komentarnya. Hanya ide, lain tidak. Anonimitas memfokuskan saya pada ide seseorang dan menjauhkan saya dari prasangka, dan menghindarkan saya dari perilaku 'menyerang' secara ad-hominem. Fokus pada ide juga mencegah saya dari tergoda oleh pria berwajah ganteng di foto profilnya. Siapa yang tahu wajah aslinya kayak apa. Dengan begitu, saya akan fokus menilai 'isi' dan bukan 'bungkus.'

Dengan fokus pada ide belaka, saya pun tidak terlalu peduli apakah felix itu peternak bebek atau staf khusus Presiden. Buat saya tidak ada bedanya, oleh karenanya, konfirmasi langsung dari yang bersangkutan bagi saya agak berlebihan, terutama kalau kita tidak pernah menganggap serius dan meributkan klaim seseorang atas identitas samarannya atau identitas samaran orang lain. Lagipula, siapa yang tahu kalau staf khusus ini tidak sedang berbohong ketika dia membantah bahwa felix adalah dirinya (walaupun saya yakin tidak demikian halnya). Apa kita perlu panggil ahli telematika untuk pembuktian ilmiah dan berkekuatan hukum? Buat apa repot-repot, lihat saya idenya, ngapain liat orangnya, delete saja komentarnya kalau keterlaluan, memangnya tidak boleh mendelete komentar yang bahkan datang dari Presiden Republik ini sekalipun.

Fokus pada ide, itu satu hal. Hal lain yang berharga dalam anonimitas, bagi saya, adalah bahwa anonimitas membuka kesempatan bagi orang untuk menyampaikan pendapatnya sebebas-bebasnya tanpa harus takut akan konsekuensi negatif yang bisa menimpanya secara fisik. Ini memang pisau bermata dua, di satu sisi anonimitas bisa membuat orang ngawur dan mengacau forum diskusi. Tetapi orang punya seribu alasan positif yang perlu kita pertimbangkan tanpa menghakimi mengapa seseorang menggunakan alias. Beberapa contoh, bisa karena seseorang rendah diri atau punya masalah dalam pergaulan sosial di dunia nyata, padahal dia merasa idenya penting untuk disuarakan, dan media Kompasiana dijadikannya ajang uji coba untuk melontarkan idenya ke publik. Bisa saja dia tidak bisa bebas bersuara karena dibatasi oleh kedudukannya, jabatannya, atau karena lingkungan sosialnya; tapi di Kompasiana dia bisa bersuara apa saja. Selain, barangkali sekadar untuk melampiaskan kepenatannya dalam kehidupan rutinnya, sebagai surviving mechanism 'untuk sementara menjadi orang lain', bisa juga seseorang kemudian memberi informasi yang penting bagi publik tetapi tidak bisa disampaikannya terbuka karena dilarang oleh instansi atau perusahaannya tempat dia bekerja. Menjadi semacam 'whistle blower' atau 'deep throat.' Tetapi bagaimana kalau identitas palsu lantas memberi informasi yang menyesatkan atau fitnah?

Bagaimanapun, pada akhirnya, semua terpulang pada pembaca dan individu kompasianer masing-masing untuk selalu cerdas menyaring dan menimbang informasi serta tidak gegabah. Pertanyakan segalanya, informasi anonim tentu tingkat kepercayaannya lebih rendah dari sumber informasi yang kita kenal secara pribadi, telusur lebih lanjut semua informasinya, cari faktanya, check and recheck, cari sumber informasi lain. Dengan kata lain, menjadi citizen journalist yang baik.

Begitu pula dengan kasus tokoh fiktif penguras air mata yang pernah ramai dibicarakan. Banyak yang merasa rugi karena sudah kering air matanya tetapi ternyata yang ditangisi tidak mati beneran. Ini barangkali adalah pelajaran mengenai perlunya kita untuk selalu punya perlakuan khusus terhadap orang yang tidak kita kenal secara pribadi--teman dunia maya--sekalipun idenya dalam tulisan sangat akrab bagi kita. Ini tentunya juga membuat kehadiran teman-teman kita di dunia nyata menjadi lebih istimewa. Lagipula, menangisi tokoh fiktif 'kan biasa, seperti kalau kita nonton sinteron atau film drama. Nggak apa-apa tho, paling banter itu membuktikan bahwa kita masih punya kemampuan berimajinasi dan berempati.

Pada akhirnya, dengan begitu banyaknya manusia yang terjalin dalam jaringan dunia maya, garis tipis pembatas antara identitas asli dan anonim semakin memudar. Menarik juga, mengikuti kuliah umum Michael Wesch Anthropological Introduction to Youtube untuk melihat bagaimana teknologi komunikasi dan dunia maya bukan hanya mampu menyebarkan ekspresi dan pendapat kita dalam jangkauan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, tetapi juga memberi refleksi cara pandang kita tentang kolektivitas anggota komunitas (maya) serta diri kita sendiri sebagai anggotanya.

Walaupun demikian, pentingnya anonimitas sama sekali tidak mengecilkan pentingnya identitas asli dalam forum ini. Identitas asli saya kira bukan hanya dipersilakan tetapi juga sangat dianjurkan; tetapi hemat saya jangan diwajibkan. Kalaupun diwajibkan, apakah Admin punya waktu dan tenaga cukup untuk mengecek KTP asli pendaftar satu per satu?

Untuk konkretnya saya usul:
1. Anonimitas penting, oleh karenanya, sistem pendaftaran yang memerlukan kerumitan pembuktian diri tidak diperlukan.

2. Biarlah kewenangan mengatur lalu lintas pendapat dan menjaga kesehatan debat tetap dipegang oleh penjaga lapak masing-masing.

3. Disediakan tombol untuk memblok individu agar tidak bisa memberi komentar, misalnya “Blok akun/komenter ini pada tulisan ini” dan “Blok akun/komenter ini untuk semua tulisan saya."

4. Untuk mencegah komentar yang sama terekam berkali--kali, biasanya karena kecelakaan akibat server atau koneksi yang lambat--Kompasiana perlu dipasangi software yang bisa mengenali komentar yang persis sama, mencegah pemuatannya secara berurutan di satu lapak, serta memberi pesan "Maaf komentar Anda tidak kami muat karena Anda baru saja menulis komentar yang persis sama di lapak ini."

Dengan disediakannya tombol seperti usulan nomor 3, kerepotan meladeni orang menjengkelkan bisa berkurang; dan orang yang diblok di banyak lapak akan semakin terkucil, sehingga pada akhirnya dia harus selalu menata pendapatnya dan tidak bicara sembarangan di sembarang tempat supaya tidak terkucil. Dan yang terpenting, kewenangan untuk memblok ‘orang yang komentarnya menyebalkan’ itu berada di tangan kita, Kompasianers, semua–bukan bertumpu pada kewenangan (dan kerepotan) seorang Admin belaka. Intinya, menumpukan pemeliharaan kesehatan diskusi pada 'kekuatan' masing-masing individu kompasianer atau secara kolektif. Kekuatan yang tersebar, terdesentralisasi, dan terdevolusi pada 'rahayat' akan menjadi lebih besar daripada kewenangan terpusat. Dengan kata lain: Membangun Kesehatan Kompasiana Berbasis Kompasianers.

Bagaimana?

Edit: Tambahan saya masukkan ke usul nomor 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun