"Hihihi, berarti benar." Afisah tertawa. "Bagus banget namanya, om." Kali ini Afisah menatap Wijaya.
"Benar. Ada sejarahnya loh."
"Hah, maksudnya gimana, om?" Afisah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Sejarah dibalik nama Hiro pada anjing milik om," balas Wijaya.
"Wah?" Afisah terlihat begitu penasaran. Melihat itu, Wijaya mengajak Afisah untuk duduk bersama di kursi teras. Sementara itu Hiro keliling lapangan sambil memerhatikan mereka berdua.
Wijaya menghembuskan nafas terlebih dahulu sebelum mulai bercerita. Ini membuat Wijaya harus membuka lebar kisah masa lalu yang baginya pahit, tentang seseorang yang amat dia sayangi.
"Saat anak om masih seumurmu, kasih sayang om dan istri om tertuju penuh pada anak kami satu-satunya. Apapun yang anak kami butuhkan, selalu kami beri tanpa pamrih. Kami selalu mengajarkan hal-hal yang baik pada anak kami." Wijaya jeda sejenak sambil menatap langit sore. "Kasih sayang kami tak pernah putus, kami selalu memprioritaskan anak kami. Anak kami pun menyayangi kami sama seperti kami menyayanginya."
Tapi entah kenapa, aura wajah Wijaya mendadak berubah.
"Eh, om kenapa?" Afisah menyadari adanya perubahan dari wajah Wijaya.
"Memang semua permintaan anak kami selalu kami penuhi. Kecuali satu, karena om belum sanggup membelikannya untuk anak kami. Kamu ingin tahu apa permintaan tersebut?"
"Emangnya apa, om?" Afisah menunggu jawaban.